REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mas Alamil Huda
Pesantren menjadi salah satu titik rawan penyebaran Covid-19. Presiden Joko Widodo (Jokowi) di awal-awal pandemi melanda Indonesia, telah mewanti-wanti penyelenggara pendidikan berbasis asrama, seperti pesantren, agar secara ketat menjalankan protokol kesehatan (prokes).
Jika satu orang saja terinfeksi Covid-19, maka dengan sangat mudah virus akan menular. Sebabnya jelas, yakni interaksi di antara mereka pasti sangat erat dan intens sehingga memudahkan virus menyebar dari satu orang ke lain orang. Terlebih, usia santri yang masih remaja membuat sebagian besar di antara mereka tak bergejala (OTG) ketika terpapar virus. Sebagian di antara mereka pun sembuh. Tetapi, ketika virus menular ke warga pesantren yang berusia lanjut, dampaknya bias fatal.
Faktanya memang demikian. Data dari pusat asosiasi pesantren NU atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) menunjukkan banyaknya ulama yang meninggal sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, khususnya mereka yang berusia lanjut.
Dalam catatan terakhir RMI NU, sebanyak 333 kiai dan ulama NU meninggal dunia terhitung sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan pada Maret 2020. Jumlah itu terdiri dari 286 ulama laki-laki dan 47 ulama perempuan.
Meski RMI mengaku tidak bisa memastikan semuanya meninggal karena Covid-19, setidaknya jumlah itu yang terdata oleh RMI. Ketua Umum RMI NU KH Abdul Ghaffar Rozin meyakini masih ada ulama atau kiai yang meninggal selama masa pandemi namun tidak terdata oleh RMI. Dengan kata lain, jumlah sebenarnya lebih banyak.
Peningkatan kematian ulama berdasarkan data RMI NU meningkat signifikan dibandingkan 2019 yang tak lebih dari 50 orang. Namun, RMI mencatat pada 2020 di bulan Februari sebanyak empat orang, Maret-Juni 37 ulama meninggal, Juli sebanyak 23 orang, Agustus 41 orang, September 90 orang, November 187 orang, Desember 253 orang, dan pada Januari tercatat total 333 ulama meninggal.
RMI NU juga mencatat, setidaknya ada 110 pesantren yang menjadi klaster penyebaran Covid-19. Jumlah itu terhitung dari awal masa pandemi Covid-19. Namun, hampir semua santri sembuh setelah sebelumnya dinyatakan positif Covid-19. Sementara Kementerian Agama (Kemenag) per Desember melansir sekitar 6.000 santri di 81 pesantren tertular Covid-19 selama masa pandemi ini.
Kemenag juga melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19 di pesantren. Di antaranya mendorong pembelajaran secara daring. Namun, ada sejumlah kendala yang dihadapi pesantren dalam pembelajaran daring.
Pertama, tidak semua pesantren berlokasi di perkotaan. Keterbatasan jaringan dan kuota internet ditambah santri berasal dari berbagai daerah yang tentu tidak sama dengan lingkungan sekolah biasa. Sementara tantangan terbesar di pesantren adalah menjaga jarak fisik atau physical distancing. Sebab, kamar santri selama ini dihuni beberapa orang.
Tepat setahun sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020, kini kasus terkonfirmasi positif sudah mencapai 1,3 juta orang. Sementara yang sembuh sebanyak 1,1 juta orang, dan yang meninggal lebih dari 32 ribu jiwa. Dari 32 ribu jiwa itu, sebagian besar adalah lansia, dan di dalamnya ada banyak ulama.
Upaya melindungi para ulama bukan tidak dilakukan. Salah satunya keberpihakan yang dibuat adalah memprioritaskan ulama, khususnya yang berusia lanjut, untuk mendapat prioritas vaksinasi. Persis setelah hampir semua tenaga kesehatan divaksinasi, para ulama mendapat gilirannya.
Pada akhirnya, upaya pencegahan penyebaran Covid-19 harus dilakukan oleh semua pihak, dari pemerintah maupun masyarakat. Jika masyarakat terus dikejar untuk patuh terhadap protokol kesehatan, maka pemerintah punya kewajiban melakukan testing, tracing, dan treatment alias 3T secara masif dan serius.
Tentu, semua itu dibarengi ikhtiar dengan melakukan vaksinasi terhadap target 180 juta penduduk untuk memperoleh kekebalan bersama. Meski, jumlah dosis vaksin yang ada kini belum mencukupi. Namun, ikhtiar tak pernah boleh berhenti.