REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Serikat buruh terbesar di Myanmar bersiap menggelar mogok massal untuk mengguncang perekonomian negara itu. Demonstrasi ini akan menambah tekanan pada pemerintahan jutan militer.
Setidaknya sembilan serikat buruh dari berbagai sektor mulai dari konstruksi, pertanian hingga manufaktur mengajak 'semua rakyat Myanmar' berhenti bekerja. Langkah yang dilakukan untuk mendorong militer mengembalikan kekuasaan sipil dan membebaskan pemimpin pemerintah militer Aung San Suu Kyi.
Dalam pernyataannya sembilan serikat itu mengatakan melanjutkan kegiatan ekonomi dan bisnis akan membantu militer 'menindas energi rakyat Myanmar. "Sekarang ini waktunya untuk mengambil tindakan untuk mempertahankan demokrasi kami," kata sembilan serikat tersebut, Senin (8/3).
Organisasi perempuan yang bernama gerakan Htamain (Sarong) memobilisasi massa turun ke jalan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional sambil mengecam kekuasaan militer. Ahad kemarin rakyat Myanmar menggelar unjuk rasa terbesar mereka dalam beberapa pekan terakhir.
Saksi mata melaporkan suara tembakan dan granat kejut di berbagai wilayah di Kota Yangon pada Ahad (7/3) malam kemarin. Media pemerintah mengatakan pasukan keamanan berjaga-jaga di sekitar rumah sakit dan universitas.
Polisi menembakan granat kejut dan gas air mata untuk membubarkan massa di Yangon, Lashio dan puluhan ribu orang yang menggelar aksi duduk di Kota Mandalay. Berdasarkan data PBB hingga kini polisi dan militer Myanmar telah membunuh lebih dari 50 orang dalam unjuk rasa yang rutin digelar setiap hari sejak kudeta.
Di media sosial Facebook pemimpin unjuk rasa Maung Saungkha mengajak perempuan untuk turun ke jalan melawan kudeta. Sementara salah satu penyelenggara gerakan Sarong, Nay Chi menyebut perempuan sebagai 'revolusioner'.
"Rakyat kami tak bersenjata tapi bijak, mereka mencoba memerintah dengan rasa takut, tapi kami akan melawan rasa takut," kata Nay Chi.