REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, wacana atau dorongan hukuman mati bagi koruptor merupakan refleksi dan rasa frustasi dari masyarakat atas upaya pemberantasan korupsi yang tidak berjalan efektif di tanah air.
"Jadi masyarakat menilai selalu ada hambatan dan akhirnya hasil pemberantasan korupsi yang dibayangkan tidak terealisasi," kata Adnan pada diskusi daring bertajuk hukuman mati bagi koruptor apakah tepat? yang dipantau di Jakarta, Jumat (13/3).
Oleh sebab itu, pada akhirnya masyarakat berpikir sebaiknya para koruptor dihukum mati saja. Apalagi, di berbagai kesempatan terutama di media televisi para koruptor tak jarang terlihat santai bahkan tertawa.
Kemudian dorongan pelaksanaan hukuman mati tersebut juga mencuat dengan asumsi sebagai jalan pintas menyelesaikan masalah korupsi yang sudah mengakar. Selain itu, hukuman mati bagi koruptor dinilai juga bisa menimbulkan rasa takut bagi pelaku lainnya.
Jika dilihat secara global, terdapat beberapa negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor, yakni China, Korea Utara, Iran, Irak, Thailand, Laos, Vietnam, Myanmar, Maroko dan Indonesia. Meskipun Indonesia merupakan salah negara yang menerapkan langkah hukum tersebut, namun faktanya hingga kini belum ada satu pun tersangka korupsi yang dijatuhi hukuman mati.
Jika merujuk pada corruption perceptions index (CPI) 2020, China memperoleh skor 42 dari skor tertinggi 100 atau ranking 78 dari 181 negara. "Sedangkan CPI Indonesia pada 2020 mengalami penurunan drastis dari 40 menjadi 37," katanya.
Untuk skor CPI tertinggi saat ini diduduki oleh Denmark dengan raihan 88 diikuti New Zealand 87, Finlandia 85, Singapura 85, Swedia 85 dan Swiss 85. Somalia merupakan negara dengan skor CPI paling rendah yakni 10, kemudian Siria 13, Sudan Selatan 13, Yaman dan Korea Utara masing-masing 14.
Uniknya, negara-negara dengan skor CPI tinggi tersebut atau berhasil mencegah praktik korupsi sama sekali tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Adnan berpandangan jika negara-negara tersebut berhasil mencegah praktik korupsi tanpa harus adanya kebijakan hukuman mati, sedangkan Indonesia kebalikannya, maka ada yang salah dengan kebijakan pemberantasan korupsi di Tanah Air.
"Jadi mungkin bukan hukuman mati jalan keluarnya," ujarnya.
Dengan demikian, ancaman hukuman mati tidak serta merta dapat mencegah praktik korupsi akan berkurang. Lebih jauh, korupsi harus dipandang sebagai sebuah penyakit dari ketidakberesan sistem di sektor pemerintah, pribadi dan masyarakat.
Korupsi akan selalu terjadi jika kesempatan untuk melakukannya terbuka lebar. Kemudian, korupsi merupakan kejahatan kalkulasi dengan peluangtertangkap kecil namun peluang menikamatinya besar.Terakhir, menangani korupsi membutuhkan tiga pendekatan sekaligus yakni penindakan, pencegahan dan pendidikan," ujarnya.