REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pimpinan Pusat Federasi SP TSK SPSI menyatakan menolak rencana Menteri Ketenagakerjaan RI mengeluarkan aturan untuk memperbolehkan perusahaan mencicil atau menunda pembayaran THR 2021 kepada pekerja/buruh.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI, Roy Jinto, kebijakan tersebut sangat merugikan buruh. Karena, pada 2020 Menteri Ketenagakerjaan RI sudah pernah mengeluarkan aturan THR dicicil dan ditunda yang akhirnya berdampak banyak perusahaan mencicil dan menunda pembayaran THR 2020. "Bahkan, sampai sekarang ada perusahaan yang belum bayar THR 2020 kepada buruhnya," ujar Roy kepada wartawan, Senin (22/3).
Roy menilai, kondisi 2020 dengan sekarang 2021 sangat berbeda. Karena, perusahaan sudah beroperasi secara normal. Tapi, pandemi Covid 19 selalu dijadikan alasan oleh pemerintah untuk membuat aturan-aturan yang sangat merugikan kaum buruh.
"Bisa kita lihat dengan pengesahan UU Cipta Kerja yang merugikan kaum buruh, kemudian tanggal 2 Februari 2021 keluar PP No 34 tentang TKA PP No 35 mengenai PKWT, ALIH DAYA, dan PHK, PP No 36 mengenai Pengupahan, PP No 37 mengenai JKP," ujarnya.
Selain itu, kata dia, pemerintah mengeluarkan Permen 2 Tahun 2021 mengenai Pengupahan untuk industri padat karya di mana aturan tersebut memperbolehkan perusahaan untuk membayar upah buruh di bawah upah minimum. Semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sangat berpihak kepada pengusaha dan merugikan kaum buruh.
Apalagi, kata dia, adanya rencana Menteri Ketenagakerjaan akan memperbolehkan pengusaha untuk mencicil dan menunda pembayaran THR 2021. Dengan begitu, lengkap sudah penderitaan kaum buruh.
"Berdasarkan aturan, THR harusnya dibayar oleh pengusaha minimal satu bulan upah. Ini dibayarkan sekaligus paling lambat tujuh hari sebelum hari raya kepada buruh," katanya menegaskan.
Oleh karena itu, Roy meminta kepada Menteri Ketenagakerjaan agar tidak mengeluarkan aturan THR dapat dicicil atau ditunda. Karena, buruh dengan tegas menolak aturan tersebut.
"Kalau pemerintah memaksakan, berarti pemerintah memang memaksa buruh untuk turun kembali ke jalan melakukan aksi unjuk rasa penolakan aturan tersebut. Jadi, kalau terjadi kerumunan, itu karena kesalahan pemerintah!" kata Roy.