Senin 29 Mar 2021 21:32 WIB

Rusia Soroti Berlanjutnya Korban Sipil di Myanmar

Rusia tak dapat membenarkan kekerasan yang dilakukan junta militer Myanmar.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Rusia Soroti Berlanjutnya Korban Sipil di Myanmar. Seorang demonstran menggunakan teropong selama protes melawan kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 22 Maret 2021. Protes anti kudeta terus berlanjut meskipun tindakan keras terhadap demonstran semakin intensif oleh pasukan keamanan.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Rusia Soroti Berlanjutnya Korban Sipil di Myanmar. Seorang demonstran menggunakan teropong selama protes melawan kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 22 Maret 2021. Protes anti kudeta terus berlanjut meskipun tindakan keras terhadap demonstran semakin intensif oleh pasukan keamanan.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia mengatakan prihatin atas berlanjutnya aksi kekerasan terhadap warga sipil di Myanmar, Senin (29/3). Hal itu diutarakan saat tindakan represif aparat menyebabkan 107 orang, termasuk anak-anak, tewas. 

"Kami sangat prihatin dengan meningkatnya jumlah korban sipil," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov kepada awak media.

Baca Juga

Dia menyebut, Rusia memang sedang mengembangkan hubungan dengan Myanmar tetapi Moskow tak dapat membenarkan kekerasan tersebut.

Pada Sabtu (27/3), 114 pengunjuk rasa tewas di tangan aparat keamanan Myanmar. Itu menjadi hari paling berdarah sejak aksi menentang kudeta militer di sana digelar pada awal Februari lalu. 

"Tindakan militer dan polisi yang memalukan, pengecut, serta brutal yang difilmkan, menembaki pengunjuk rasa saat mereka melarikan diri, yang bahkan tidak menyelamatkan anak-anak kecil harus segera dihentikan," ujar Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michelle Bachelet dan penasihat khusus PBB untuk pencegahan genosida Alice Wairimu Nderitu dalam pernyataan bersama pada Ahad (28/3). 

Mereka turut menyoroti penangkapan sewenang-wenang terhadap ribuan orang di negara tersebut. Banyak di antara mereka yang menjadi sasaran penghilangan paksa.

"Komunitas internasional memiliki tanggung jawab melindungi rakyat Myanmar dari kejahatan kekejaman," kata mereka.

Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).

Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011. 

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement