REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Gerakan Radikalisme di Indonesia, mengacu data Badan Nasional Penanggulangan Teorisme (BNPT) para pelakunya banyak berasal dari daerah sekitar Solo, Jogjakarta, dan Jawa Tengah. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kala terjadi ledakan Bom Sarinah menyebut wilayahnya rawan teror.
Dia mengungkap bahwa Bahrun Naim, pimpinan ISIS yang diduga kuat menjadi dalang serangan Sarinah kemarin, memiliki rekam jejak di Jawa Tengah.
"Kita tahu memang beberapa jejak sejarah Bahrun Naim ada di Jawa Tengah," ujar Ganjar yang kala itu ditemuai wartawan di Istana Kepresidenan Jakarta.
Tak hanya Bahrun Naim, Ganjar juga menyebut ada beberapa kelompok yang telah ditandai pemerintah daerah karena berpotensi radikal. Sejumlah wilayah seperti lapas Nusa Kambangan juga menjadi perhatian khusus.
"Beberapa penjara yang biasanya dipakai untuk membai'at itu sudah dalam kontrol kita," ucap kader PDIP tersebut.
Fakta yang disodorlan Ganjar jelas mengundang keingintahuan untuk menelisik situasi yang menjadi penyebabnya. Ini jelas mengundang tanda tanya sebab ada klaim bahwa orang Jawa lemah lembut, ramah, santun dan lain-lain.
Dan ketika permasalahan ini beberapa tahun lalu juga ditanyakan kepada Guru Besar Sejarah Islam Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof DR Hermanu Joebagio MPD, maka ditemukan fakta mengejutkan. Dia menegaskan bahwa aksi perlawanan terhadap kekuasaan dan kekerasan adalah hal yang biasa bagi masyarakat tersebut.
Bahkan, semangat ini sudah tumbuh hampir 800 tahun lamanya, semenjak era Sunan Gresik. Bahkan bisa dunut sebelumnya dengan banyaknya aksi kekerasan berdarah memperbutkan pengaruh dan kekuasaan di Jawa.
‘’Dari zaman dahulu kala selalu terjadi di kawasan tersebut. Yang pasti khusus hari ini penyebabnya bukan ajaran pada agamanya, namun lebih karena adanya perasaan marginalisasi umat Islam yang dipinggirkan oleh sebuah sruktur kekuasaan,’’ kata Hermanu. Tak hanya itu akar kekerasan di Jawa juga dari dahulu juga berkelindan dengan situasi kemiskinan dan ketidakadilan.
Wawancara dilakukan Prof Hermanu ini dilakukan di UNS Solo beberapa waktu lalu.
Republika.co.id:Jadi begini Profesor kita bicara soal radikalisme di Islam Jawa. Sebenarnya kalau dirunut itu dari mana asal usul radikalisme Islam di Jawa
Kalau saya merunut Syekh Siti Jenar, dia berasal dari Yaman, dan dia punya keagamaan yang begitu bagus tetapi dia tidak setuju bahwa ulama itu melakukan praktek politik kekuasaan. Itu tuh dia tidak setuju. Karena itu timbul suatu stigma terhadap Syekh Siti Djenar, bahwa Syekh Siti Jenar menganut dan menyebarkah filosofi wahdatul wujud. Nah itu yang kedua.
Kemudian yang ketiga, pada masa Sultan Agung, stigma terhadap orang suci kemudian dianggap sebagai proses radikalisasi.
Nah itu yang paling berbahaya dalam konteks masa lalu, di mana elit itu selalu menstigma orang suci, ulama, melakukan gerakan yang kemudian disebut wahdatul wujud itu. Itulah yang kemudian saya anggap sebagai hal atau pemikiran paling bahaya.
Kenyataan tersebut (elite adalah pihak yang membuat stigma, red) bisa terlihat di dalam Serat Cebolek yang menceritakan mengenai bagaimana Kyai Haji Ahmad Mutamakkin itu distigma pihak kraton (kekuasaan) bahwa dia melakukan ajaran sesat.
Jadi saya bisa menafsirkan itu stigma radikal itu justru muncul dari elite. Bukan dari tokoh agama.
Nah yang konteks dari sekarang itu berbeda, justru radikal itu muncul dari bawah. Jadi pertanyaan saya ada persoalan apa ini...?