Selasa 06 Apr 2021 19:10 WIB

AJI Minta Kapolri tidak Mengekang Kebebasan Pers

Kapolri disarankan meningkatkan profesionalisme dan mencegah kekerasan anggotanya.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus raharjo
Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Forum Jurnalis Tasik Melawan melakukan teatrikal saat aksi solidaritas di Tugu Asmaul Khusna, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (1/4/2021). Mereka menuntut kepada Kapolri untuk menuntaskan kasus kekerasan dan penganiayaan yang diduga dilakukan oleh oknum aparat terhadap Jurnalis Tempo yang sedang melaksanakan tugas jurnalistiknya, di Surabaya, bahkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, kasus kekerasan terhadap wartawan dan media pada tahun 2020 meningkat sebanyak 117 kasus dibandingkan pada 2019 sebanyak 79 kasus.
Foto: Antara/Adeng Bustami
Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Forum Jurnalis Tasik Melawan melakukan teatrikal saat aksi solidaritas di Tugu Asmaul Khusna, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (1/4/2021). Mereka menuntut kepada Kapolri untuk menuntaskan kasus kekerasan dan penganiayaan yang diduga dilakukan oleh oknum aparat terhadap Jurnalis Tempo yang sedang melaksanakan tugas jurnalistiknya, di Surabaya, bahkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, kasus kekerasan terhadap wartawan dan media pada tahun 2020 meningkat sebanyak 117 kasus dibandingkan pada 2019 sebanyak 79 kasus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk tidak mengekang kebebasan pers. Kapolri sempat menerbitkan surat telegram (ST) terkait soal pelarangan media menyiarkan arogansi anggota polisi, meskipun akhirnya ST tersebut dicabut pada Selasa (6/4).

"Kalau mau mengubah citra kepolisian yang sekarang makin buruk di mata publik seharusnya bukan dengan cara mengintervensi apalagi sampai melarang pemberitaan arogansi dan kekerasan kepolisian," ujar Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/4).

Ia mengatakan, kepolisian seharusnya tidak mengarahkan pemberitaan yang lebih humanis tentang kepolisian. Semestinya kepolisian melakukan supremasi di internal dan meningkatkan profesionalisme dengan menindak tindakan kekerasan yang dilakukan para anggotanya.

Menurut Erick, berdasarkan catatan AJI, kasus kekerasan yang terjadi terhadap awak media pada 2016 meningkat jumlahnya pada 2020. Ia menyebutkan, dari 117 kasus kekerasan yang terjadi pada 2020 kepada jurnalis, sebagian besar dilakukan aparat kepolisian.

Kasus yang baru saja terjadi, Erick menyebut kasus kekerasan yang dialami wartawan Tempo di Surabaya yang diduga dilakukan aparat kepolisian. Saat wartawan tersebut meliput perkara korupsi pajak di Kementerian Keuangan, ia justru mengalami penganiayaan atau pemukulan dari aparat pengamanan.

"Artinya sampai sekarang masih terjadi kekerasan terhadap jurnalis yang paling banyak oleh kepolisian," kata dia.

Ia mendesak kepolisian transparan dan mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan anggotanya sampai ke tahap pengadilan. Erick juga meminta Kapolri memberikan arahan kepada semua jajarannya mulai dari Mabes Polri hingga Polsek agar menghormati tugas dan kerja awak media yang dilindungi Undang-Undang Pers.

"Itu harus dipahami dan disadari oleh anggota kepolisian di lapangan. Karena jurnalis bekerja dilindungi Undang-Undang Pers," tutur Erick.

Sebelumnya, ST Kapolri terkait pelarangan media menyiarkan arogansi anggota polisi ini menuai kecaman, sekalipun sejatinya ST tersebut hanya untuk internal kepolisian. Namun, banyak pihak yang mengkhawatirkan jika ST tersebut akan berimplikasi pada tugas wartawan.

Namun, Kapolri mencabut surat telegram terkait soal pelarangan menyiarkan arogansi anggota polisi. Pencabutan ST tersebut tertuang dalam surat telegram bernomor ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 yang ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Polisi Argo Yuwono.

"Sehubungan dengan referensi di atas kemudian disampaikan kepada KA bahwa ST Kapolri sebagaimana ref nomor empat di atas dinyatakan dicabut atau dibatalkan," tulis Sigit dalam Surat Telegramnya, Selasa (6/4).

Lebih lanjut, Sigit juga menyebutkan ST pencabutan ini bersifat Jukrah untuk dilaksanakan dan dipedomani. Surat Telegram bertanggal 6 April 2021 ini ditujukan kepada Kapolda dan Kabidhumas.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement