REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat (AS) telah memulai studi tahap menengah untuk menentukan apakah ada risiko reaksi alergi terhadap vaksin Covid-19, yang dibuat oleh Moderna dan Pfizer. Studi ini dilakukan setelah ada beberapa insiden reaksi alergi yang dilaporkan di AS usai menerima suntikan vaksin Pfizer/BioNTech dan Moderna.
Reaksi alergi yang ditimbulkan salah satunya termasuk alergi serius yang dikenal sebagai anafilaksis. Pada Januari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS mengatakan, reaksi alergi terjadi pada tingkat 11,1 per 1 juta vaksinasi.
Studi yang didanai oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases ini akan melibatkan 3.400 orang dewasa berusia antara 18 hingga 69 tahun. Sekitar 60 persen peserta memiliki riwayat reaksi alergi parah terhadap makanan, sengatan serangga, atau imunoterapi.
Tujuan uji coba adalah untuk mengetahui proporsi peserta yang mengalami reaksi alergi sistemik dalam waktu 90 menit setelah penyuntikan vaksin Covid-19. Institut Kesehatan Nasional AS berharap hasil studi dapat dilaporkan ke publik pada musim panas ini.
AstraZeneca
Sebelumnya European Medicines Agency (EMA) mengatakan, ada keterkaitan antara vaksin Covid-19 AstraZeneca dengan insiden pembekuan darah di otak yang langka. Tetapi kemungkinan penyebabnya masih belum diketahui.
Namun, EMA kemudian mengatakan, peninjauan mengenai efek samping vaksin AstraZeneca masih berlangsung. Hasil peninjauan diharapkan dapat diumumkan pada Rabu (7/4) atau Kamis (8/4). Juru bicara AstraZeneca menolak berkomentar tentang masalah tersebut.
"Menurut saya, sekarang bisa kita katakan bahwa jelas ada kaitan (penggumpalan darah di otak) dengan vaksin (AstraZeneca). Namun, kami masih belum tahu apa yang menyebabkan reaksi ini,” kata Ketua Tim Evaulasi Vaksin di EMA, Marco Cavaleri kepada harian Italia Il Messagero.
Cavaleri tidak memberikan bukti yang mendukung komentarnya. Cavaleri mengatakan, untuk sementara EMA menyatakan bahwa ada keterkaitan antara pembekuan darah di otak dengan vaksin AstraZeneca. Tetapi EMA tidak mungkin memberikan indikasi terkait usia individu yang dapat menerima suntikan AstraZeneca, karena peninjauan masih berlangsung.
Beberapa negara, termasuk Prancis, Jerman, dan Belanda, telah menangguhkan pemberian vaksin AstraZeneca pada orang muda. "Komite Penilaian Risiko Farmakovigilans (PRAC) EMA belum mencapai kesimpulan dan peninjauan (dari kemungkinan keterkaitan vaksin dengan pembekuan darah) saat ini sedang berlangsung," ujar pernyataan EMA.