REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainur Rohman memandang, nilai integritas internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah keropos. Pernyataan ini menanggapi adanya penyidik KPK berinisial AKP SR yang diduga meminta Wali Kota Tanjungbalai, Syahrial, Rp 1,5 miliar.
"KPK telah keropos di dalamnya. Nilai integritas sebagai 'jualan' utama KPK yang dikampanyekan terus menerus kepada seluruh rakyat Indonesia, pejabat negara, itu telah mengalami banyak kemunduran," kata Zaenur saat dihubungi, Kamis (22/4).
Menurut Zaenur, Pertama, karena adanya konfigurasi pimpinan KPK yang sekarang.
"Kenapa? Karena pimpinan sekarang tidak dapat memberikan keteladanan integritas. Bahkan, Ketua KPK pernah divonis bersalah oleh Dewas KPK karena melakukan pelanggaran etik," tuturnya.
Meskipun pelanggaran etik ringan, tetapi ini bukan soal berat atau ringannya pelanggaran. Zaenur menekankan, bahwa sangat tidak patut bagi seorang Ketua KPK melakukan pelanggaran etik.
Sehingga, pimpinan yang pernah melakukan pelanggaran etik ini tidak dapat memberikan keteladanan mengenai nilai integritas kepada seluruh pegawai. Tanpa ada keteladanan pimpinan, lanjut Zaenur, maka nilai organisasi yaitu integritas tidak bisa ditegakkan karena nihilnya/absennya keteladanan dari pimpinan.
"Pimpinannya saja melakukan pelanggaran etik apalagi pegawainya begitu, " tuturnya.
Faktor kedua, yakni adanya implikasi dari RUU KPK, terutama terkait dibutuhkannya izin dari Dewan Pengawas KPK dalam melakukan upaya paksa baik penyitaan, penggeledahan dan penangkapan. Hal itu juga yang menyebabkan adanya kebocoran kasus di Kalimantan, ataupun Harun Masiku yang hingga kini belum tertangkap
"Sangat mungkin informasi terlebih dahulu merembes/bocor sebelum izin didapatkan. Sangat mungkin kemudian para pelaku telah melarikan diri/memindahkan alat bukti," ucapnya.