Kamis 22 Apr 2021 22:08 WIB

KPK Diminta Audit Alokasi Dana BPDPKS Sebesar Rp 57 T

Dana ini bersumber dari pungutan ekspor CPO sejak 2015.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus Yulianto
Seorang pekerja mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari dalam rakit di Desa Rantau Bais, Rokan Hilir, Riau. (Ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid
Seorang pekerja mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari dalam rakit di Desa Rantau Bais, Rokan Hilir, Riau. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaudit alokasi dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Rp 57,72 triliun untuk subsidi Biodiesel. SPKS juga meminta BPK dan KPK menelusuri penggunaan dana tersebut.

"Dana ini bersumber dari pungutan ekspor CPO sejak 2015. Alih-alih untuk petani, malah dialokasikan untuk konglomerat sawit yang sudah mapan mengontrol hulu hilir perkebunan sawit Indonesia," kata Anggota SPKS, Sabar dalam keterangan pada Kamis (22/4).

Sia menjelaskan, salah urus BPDP sebagai BLU dapat dilihat dari timpangnya struktur kelembagaan BPDPKS yang didominasi oleh kelompok pengusaha sawit dan bercokolnya beberapa konglomerat dalam komite pengarah yang mengatur lalu lintas alokasi dana sawit. Tidak hanya itu, badan pengawas-pun sangat lemah dalam konteks posisinya karena kebanyakan dirjen dari kementerian yang duduk dalam komite pengarah dan hadir pula perwakilan asosiasi pengusaha sawit dalam dewan pengawas.

Dia berpendapat, bahwa salah urus ini sengaja dibiarkan. Dua tokoh kunci yang bertanggung jawab, kata dia, adalah menko perekonomian dan mentri keuangan yang mengatur kebijakan komite pengarah dan Menteri keuangan yang mengatur badan pelaksana dan dewan pengawas.

"Semakin lengkap BLU sawit ini tidak terurus secara baik, sebab hamper semua pelaksana Badan pengelola dana sawit ini dikuasai oleh orang-orang yang tidak punya kapasitas dibidang perkebunan karena didominasi oleh orang-orang dekat Menteri keuangan," katanya.

Dia mengatakan, SPKS menuntut adanya transparansi penggunaan anggaran BPDPKS ke publik. Jangan sampai, sambung dia, perkata tersebut menambah daftar mega korupsi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).

SPKS juga meminta pemerintah melakukan reformasi terhadap tata kelola dan struktur kelembagaan BPDPKS. Menurutnya, tata kelola BPDPKS harus mengakomodir perwakilan petani dan segera membentuk direktorat khusus pembangunan sawit rakyat berkelanjutan. 

Dia mengatakan, alokasi Dana Sawit seharusnya tidak mendiskriminasi petani. Dia melanjutkan, SPKS mengajukan perbandingan luas areal sawit seharusnya menjadi indikator dalam alokasi penggunaan sawit beserta tantangan yang dihadapi para pemangku kepentingan.

"Petani menuntut agar dana hibah seharusnya dinaikan menjadi 50 juta agar dapat mencukupi beban petani di masa replanting dan sawit yang belum berproduksi. Ini salah satu solusi kebijakan affirmatif Pemerintah untuk petani," katanya.

Dia melanjutkan, BDPKS juga harus segera merealisasikan pembiayaan untuk Sapras melalui pembangunan pabrik mini untuk petani yang sudah dijanjikan Jokowi. Selain itu, sambung dia, dana sawit harus diarahkan pada persoalan seperti infrastruktur dan lain-lain.

Dia berpendapat, kenaikan pungutan CPO oleh BPDPKS harus dibatalkan karena merugikan petani. Di tengah pandemi, Pemerintah perlu melindungi rakyatnya, bukan memperarah keadaan yang hanya menyelamatkan pihak pengusaha (B40 dan B50) dan seterusnya.

"Pemerintah harus segera membuat aturan tata niaga dan rantai pasok biodiesel yang melibatkan petani dengan jalan kemitraan bersama koperasi petani pekebun swadaya. Perusahaan yang tidak menerima buah dari petani harus dihukum dengan tegas," katanya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement