REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN — Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengumumkan pengunduran dirinya secara resmi pada Ahad (25/4). Meski demikian, ia mengatakan akan tetap melanjutkan tugas jabatannya sementara waktu, hingga pemungutan suara parlemen dilakukan pada 20 Juni mendatang.
Pemungutan suara parlemen Armenia ditujukan untuk meredakan krisis politik yang terjadi di negara itu pasca konflik dengan Azerbaijan pada tahun lalu. Pashinyan telah mendapat kritik secara luas karena kesepakatan untuk mengakhiri pertempuran dinilai merugikan.
“Saya mengundurkan diri dari jabatan sebagai perdana menteri pada hari ini. Namun, saya akan terus memenuhi seluruh tugas,” ujar Pashinyan dalam pengumuman resmi yang dirilis melalui jejaring sosial Facebook, seperti dilansir Gulf Today, Ahad (25/4).
Konflik antara Azerbaijan dan Armenia di wilayah Nagorno-Karabakh telah dimulai sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1990-an. Pertempuran antara pasukan kedua negara sempat berakhir dengan perjanjian gencatan pada 1994.
Namun, setelah kesepakatan gencatan senjata ditandatangani, etnik Armenia mengendalikan wilayah Nagorno-Karabakah, meski PBB mengakui wilayah itu sebagai bagian dari Azerbaijan. Hingga kemudian, pada akhir September 2020, konflik kembali memanas yang berakhir dengan pertempuran sengit antara pasukan dari kedua negara.
Selama enam pekan berlangsung, terdapat lebih dari 5.000 korban tewas. Pertempuran diakhiri melalui kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi oleh Rusia pada 9 November 2020. Dalam perjanjian yang dicapai, Armenia setuju untuk menyerahkan kembali tiga distrik kepada Azerbaijan, yaitu Lachin, Agdam, dan Kalbacar.