Senin 24 May 2021 15:21 WIB

Pengamat: Nilai Cukai Minol tak Sebanding dengan Dampaknya

Investasi dan regulasi di sektor ekonomi digital telah membuka lapangan usaha baru.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Agus Yulianto
Minuman beralkohol.
Foto: EPA
Minuman beralkohol.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira menyebut, penerimaan yang dihasilkan dari cukai minuman keras tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan dari konsumsi minuman beralkohol, salah satunya sektor ekonomi. Bhima mengungkapkan, keuntungan negara dari penerimaan cukai minuman beralkohol dan etil alkohol nilainya masing-masing Rp 5,76 triliun dan Rp 240 miliar sepanjang 2020.

"Jika digabungkan nilainya cuma Rp 6 triliun atau setara 3,5 persen dari penerimaan cukai hasil tembakau (rokok). Jadi, kecil sekali sebenarnya keuntungan yang diperoleh negara," kata Bhima dalam keterangannya, Senin (24/5) 

Sementara, lanjut Bhima, dampak dari peredaran minol ini sangat berisiko bagi perekonomian. Dia mengungkap, jika mengambil studi yang dilakukan Montarat (2009) pada 12 negara menunjukan beban ekonomi dari minuman beralkohol adalah 0,45 persen hingga 5,44 persen dari PDB. Sementara, angka PDB Indonesia pada 2020 adalah Rp 15.434 triliun.

"Jika mengambil angka yang sama dengan Amerika Serikat atau 1,66 persen, maka di Indonesia kerugian setara dengan Rp 256 triliun," katanya.

Selain itu, dia menyebut, beban ekonomi dari minol ini sangat besar bahkan lebih tinggi dari belanja kesehatan total di 2020 yakni Rp 212,5 triliun. Hal ini menandakan kerugian ekonomi berupa turunnya produktivitas masyarakat lebih besar, karena peredaran alkohol, tingkat kecelakaan dan gangguan kesehatan jangka panjang menghambat pencapaian bonus demografi yang berkualitas.

Karena itu, dia menilai, UU Larangan Minol yang saat ini sedang dirancang DPR sudah tepat. "Kehilangan pendapatan negara dari cukai minuman beralkohol tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh jika minuman alkohol dilarang. Jadi adanya UU Larangan Minol justru positif bagi perekonomian," paparnya.

Menurutnya, banyak sektor yang lebih memberikan manfaat bagi ekonomi dan serapan tenaga kerja sebagai contoh sektor industri pengolahan, pertanian dan ekonomi digital. Dibandingkan tetap mempertahankan sektor minol.

"Investasi dan dukungan regulasi di sektor ekonomi digital telah terbukti membuka lapangan usaha baru setidaknya bagi jutaan tenaga kerja. Ini berbanding terbalik dengan sektor minol yang dampaknya cenderung kecil bagi tenaga kerja tapi merugikan ekonomi dalam jangka panjang," katanya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement