REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menanggapi Koalisi Guru Besar Antikorupsi yang mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Dia menilai, surat itu mencerminkan keresahan para akademisi terhadap hukum di Indonesia.
"Ini artinya darurat pemberantasan korupsi. Dan betul sekali ini bentuk keresahan," kata Asfinawati kepada Republika, Selasa (25/5).
Asfinawati mengamati, menguatnya gerakan pelemahan KPK dimulai dari revisi UU KPK, penunjukkan Firli Bahuri sebagai ketua KPK hingga polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Aksi ini dilakukan para koruptor guna mengamankan diri dari jeratan hukum.
"Para guru besar mengatakan ada obstruction of justice. Ini artinya perlawanan balik koruptor & kalau dibulatkan sama dengan koruptor akan menang lagi," ujar Asfinawati.
Asfinawati sepakat dengan permintaan Koalisi Guru Besar Antikorupsi yang disampaikan kepada Presiden demi memperbaiki KPK. Salah satunya mengaktifkan kembali 75 pegawai KPK yang dianggap tak lolos TWK.
"Seperti yang dinyatakan guru besar juga, cabut SK penonaktifan, alihkan status pegawai KPK tanpa melalui TWK karena TWK ilegal, melampaui UU 19/2019," jelas Asfinawati.
Di sisi lain, Asfinawati menyampaikan, YLBHI terus mendampingi para pegawai KPK tak lulus TWK. Mereka telah melaporkan TWK dari segi mal administrasi ke Ombudsman dan ke Komnas HAM untuk pelanggaran HAM-nya.
"Hari ini koalisi (masyarakat sipil) mengadukan Firli ke Kapolri, ihwal permintaan penarikan atau pemberhentian Komisaris Jenderal Firli Bahuri sebagai anggota Kepolisian," ucap Asfinawati.
Sebelumnya, sebanyak 73 guru besar dari sejumlah universitas yang tergabung dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi menyurati Presiden Jokowi) pada Senin (24/5). Dalam suratnya, para guru besar meminta Presiden Jokowi agar mengawasi tindak tanduk Firli Bahuri cs dan mengaktifkan kembali 75 pegawai KPK yang dianggap tak lolos TWK. Koalisi Guru Besar jiga memandang Surat Keputusan (SK) yang diteken Firli Bahuri bisa dikategorikan pidana.