REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar aliansi kebangsaan Yudi Latif mengatakan, tes wawasan kebangsaan (TWK) merupakan tolok ukur seorang pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN). Menurut dia, TWK dilaksanakan dengan semangat mengedukasi, bukan menghukum.
“Semangatnya itu bukan semakin menjauhkan orang dari wawasan kebangsaan. Jadi, ada proses edukasi ya. Makanya, harus dikategorisasi dan sampai di mana tingkat keseriusan keburukan wawasannya itu,” kata Yudi kepada wartawan, Jumat (28/5).
Yudi menjelaskan, melalui TWK itu pula pemerintah semestinya melakukan pembinaan. Dengan demikian, kelompok-kelompok yang dianggap melenceng dari wawasan kebangsaan dapat diedukasi dan juga dapat terangkul.
“Tapi intinya, tugas negara itu selain menghukum itu harus mengedukasi. Jadi, kelompok-kelompok yang mulai dianggap melenceng itu, semangatnya itu bukan malah menyingkirkan, tapi merangkul dan mengedukasi,” ujar dia.
Dia juga menjelaskan terkait rapor merah dalam TWK, yang belakangan ramai karena 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan tidak dapat melanjutkan karier di KPK karena hal tersebut. Dia mengatakan, rapor merah itu bisa dikategorikan pegawai tersebut sudah tidak mau bekerja lagi untuk institusi negara.
“Pertama, harus ditanya mau melanjutkan atau tidak? Kalau melanjutkan, ini persayaratan-syaratnya yang harus dilalui," kata dia menerangkan.
Sebab, kata Yudi, pengertian merah atau tidak itu sebenarnya relatif. Dia berpandangan, merah itu berarti orang tersebut sudah tidak mau bekerja di institusi negara karena melihat negara ini adalah negara thagut dan lain hal semacamnya.
"Kalau menurut saya, merah itu sudah tidak mau bekerja di institusi negara karena negara ini negara thagut. Pernah komitmen dalam aksi-aksi teroris. Ada intensi ingin merobohkan tata negara. Itu benar-benar tak akan terampuni itu,” kata Yudi.