REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jelas terkait dengan konstalasi politik 2024. Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam menyebut, KPK merupakan satu-satu lembaga penegak hukum di Indonesia yang mampu melakukan koreksi terhadap kekuasaan.
"Jika pelemahan KPK dilakukan secara sistematis, hal itu besar kemungkinan dipengaruhi oleh aliansi kepentingan ekonomi-politik menuju konstalasi 2024 mendatang," kata Umam dalam diskusi Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dengan tema 'Membaca Arah Politik Anti-Korupsi di Indonesia' yang digelar secara virtual di Jakarta, Senin (7/6).
Selain Umam, hadir pula sebagai pembicara Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, pengajar University of Sydney Thomas Power, Sekretaris Lakpesdam NU Marzuki Wahid, Ketua Advokasi Hukum PP Pemuda Muhammadiyah Razikin, dan Ikhsani Retno selaku moderator.
Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) tersebut mengatakan, motif pelemahan KPK terkait agenda politik 2024 setidaknya ada dua. Pertama, pelemahan KPK ditujukan untuk memudahkan pengumpulan logistik politik di tengah ekonomi negara yang tertekan akibat pandemi ini.
Dalam situasi pandemi, bisnis swasta sangat tertekan. Sehingga yang tersedia adalah dana publik yang berasal dari APBN, utamanya yang diperoleh dengan skema utang luar negeri. "Sehingga pelemahan KPK akan lebih memudahkan agenda kepentingan pengumpulan logistik politik menjelang 2024 mendatang," kata Umam.
Kedua, lanjutUmam, pelemahan terhadap KPK itu memudahkan kekuasaan untuk mengontrol dinamika politik dan koalisi yang terbentuk pada 2024. Umam menyebut, lembaga penegak hukum berpotensi menjadi alat kekuasaan yang sangat efektif untuk mengamankan kepentingan, 'mendisiplinkan' aliansi politik, menjaga loyalitas pengikut, menjatuhkan rival, mengonsolidasikan kekuatan, serta mencegah setiap potensi ancaman dari pihak lawan dan kompetitor politik.
"Karena itu, agenda pelemahan KPK menjadi relevan dan bisa dipahami dalam kerangka kepentingan perebutan kekuasan menuju 2024 mendatang," kata Umam.
Dia pun menyoroti langkah Presiden Jokowi yang berdiam diri pascapelantikan 1.271 pegawai KPK dan penyingkiran 51 pegawai senior KPK. Umam menyindir, Presiden masih menutup mata atas apa yang terjadi di KPK saat ini. Umam berharap, sikap tegas Presiden yang sebelumnya menyatakan bahwa 75 pegawai KPK tidak boleh diberhentikan, hendaknya bukan sekadar gimmick politik semata.
Presiden, sambung dia, sebagai panglima tertinggi dalam agenda pemberantasan korupsi di Tanah Air harus bersikap tegas dan jelas. "Kekuasaan Presiden itu besar, seharusnya bisa lebih firmed, lebih tegas dan jelas. Jangan bersembunyi dan menyelamatkan muka dari kontroversi ini," kata Umam.
Akademisi University of Sydney, Tom Power menyebut, pelemahan KPK di era Presiden Jokowi memiliki enam tahapan. Hanya saja, Tom juga menyinggung, pelemahan dimulai dari gugatan praperadilan Budi Gunawan saat dijadikan tersangka oleh KPK pada era Abraham Samad.
"Menempatkan sebagian elite politik di luar jangkauan KPK, intimidasi terhadap penidik KPK, deligitimasi diskursif terhadap penyidik yang independen, pengangkatan perwira aktif polisi menjadi pimpinan KPK, revisi UU KPK, dan implementasi RUU KPK berupa alih status penyidik KPK menjadi ASN," kata Tom.