REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo memberi tiga alasan agar sebaiknya pemerintah tidak mengenakan pajak terhadap sembako dan jasa pendidikan. Diingatkannya bahwa pertanian merupakan srktor yang paling konsisten tumbuh selama masa pandemi Covid-19.
Dradjad mengaku bisa memaklumi kalau pemerintah menggagas berbagai wacana ekonomi dan fiskal. Terlebih resesi sudah berjalan satu tahun, penerimaan pajak seret, utang naik, beban pembayaran utang makin besar. Sementara dari sisi pertumbuhan sebenarnya, karena faktor konsumsi Ramadhan dan Idul Fitri lalu, perekonomian tumbuh positif di kuartal kedua 2021. Namun ledakan kasus Covid-19 yang terjadi sekarang bisa mengganggu peluang tersebut.
“Jadi bisa dimaklumi dengan beberapa wacana tersebutl tersebut,” ungkap Dradjad, kepada Republika.co.id, Sabtu (19/6).
Namun, lanjut Dradjad, pengenaan pajak untuk sembako dan jasa pendidikan adalah hal yang kontraproduktif. Memang narasi publiknya dibuat cantik, dengan menyebut hanya sembako premium yang kena pajak. Dan hanya jasa pendidikan komersial yang kena PPn. “Tapi tetap saja tidak mampu menutupi konten yang kontraproduktif,” kata Ketua Dewan Pakar PAN tersebut.
Dradjad menyebut hal ini kontraprodutif karena pertama, studi terbaru yag diterbitkan 2019, menunjukan bahwa PPn meningkatkan ketimpangan berbasis pendapatan. “Ini studi di semua negara di dunia yang menerapkan PPn, kecuali bekas Uni Soviet,” jelas Dradjad.
Jika Indonesia mengenakan PPN terhadap sembako dan pendidikan, yang tadinya bebas PPN, kata Dradjad, maka ketimpangan akan memburuk. Padahal pandemi sudah membuat ketimpangan memburuk.
Kedua, jika yang dikenakan PPN hanya sembako premium, tapi dalam bahasa ekonomi, permintaan beras premium itu elastis. Artinya, kalau harga naik 1 persen karena kena PPN maka jumlah yang akan diminta akan turun dengan prosentase yang lebih besar.
“Dampaknya, harga di tingkat petani nanti akan turun dan produksi juga bisa turun. Di sisi lain beras yang nonpremium harga di tingkat konsumen akan bisa naik. Tentu ada potensi inflasi dan sebagainya,” papar Dradjad.
Dan hal yang harus diingat, kata Dradjad, selama pandemi Covid-19 pertanian, perikanan, dan kehutanan menjadi sektor yang konsisten tumbuh secara positif di atas 2 persen. Terakhir di kuartal pertama 2021 tumbuh 2,95 persen.
“Sukses tanaman pangan, termasuk beras di dalamnya, malah tumbuh 10,2 persen di kuartal pertama 2021,” kata ekonom senior ini. Pada saat pertumbuhan ekonomi masih labil karena gangguan ledakan kasus Covid-19, lanjut Dradjad, tidak logis kalau sektor ini diganggu.
Alasan ketiga, menurut Dradjad, berdasar data, nilai PPN yang tidak dikenakan pada jasa pendidikan nilainya selama 2016-2019 hanya Rp.8 triliun hingga Rp.10,5 triliun. Jika dikurangi jasa pendidikan bermisi sosial kemanusian tentu nilainya lebih rendah.
Jika PPN dikenakan, kata Dradjad, jelas biaya pendidikan akan semakin mahal. Meskipun hanya untuk jasa pendidikan komersial. “Pantaskah negara mengejar angka sekecil itu, sementara di sisi lain prioritas periode kedua Presiden Jokowi adalah sumberdaya manusia?” tanya dia.
Dradjad menyarankan sebaiknya pemerintah mengejar potensi penerimaan yang lain. "Dan saya pernah melihatnya ketika masih bertugas di lembaga intelijen ada potensi itu. Silakan digali potensi tersebut, tentu dengan cara baik-baik bukan dengan cara kekuasaan,” ungkapnya.