Senin 26 Jul 2021 14:59 WIB

Muhammadiyah dan Soedjatmoko

Soedjatmoko adalah cendekiawan, filsuf, dan budayawan terkemuka.

Red: Ani Nursalikah
Muhammadiyah dan Soedjatmoko. Cendekiawan, filsuf, dan budayawan terkemuka dan berlevel internasional Indonesia Soedjatmoko.
Foto:

Sebelum Soedjatmoko wafat, UMY sebenarnya sudah menyiapkan satu rencana untuk almarhum. Ia dipersiapkan sebagai salah satu anggota Dewan Penyantun UMY. Rencananya, pengangkatannya akan dilakukan pada Maret 1990. Namun, begitulah, Soedjatmoko wafat sebelum mengemban amanat baru ini.

UMY bukanlah kampus Muhammadiyah pertama yang menjadi tempat Soedjatmoko menyampaikan gagasan-gagasannya. Pada awal November 1989, Bung Koko diundang sebagai pembicara di kampus IKIP Muhammadiyah Jakarta (kini: Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka) dalam rangka dies natalis ke-32 kampus ini serta menyambut Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Palembang. Tema seminar dua hari yang dihadiri Bung Koko adalah “Pembangunan, Perdamaian dan Masa Depan”.

Dalam pidatonya, Soedjatmoko mengemukakan pandangannya perihal konstelasi global, di mana negara-negara adikuasa terlibat dalam berbagai konflik baik di level regional maupun internasional. Baginya, kemenangan militer suatu negara atas negara lain bukanlah jaminan bahwa dunia akan kembali stabil. Perdamaian harus segera diwujudkan karena, lanjut dia, perdamaian ini bukan lagi menjadi tujuan yang diimpikan, melainkan sudah berubah menjadi kebutuhan.

Mengenang Soedjatmoko

Dosen Sejarah UGM yang juga dikenal sebagai sejarawannya Muhammadiyah, Adaby Darban turut merasa kehilangan dengan wafatnya Soedjatmoko. Kepada jurnalis Kedaulatan Rakyat yang mewawancarainya selepas wafatnya Soedjatmoko, ia menyebut ada kecenderungan pemikiran berbeda yang ditawarkan Soedjatmoko di waktu-waktu terakhir kehidupannya. Soedjatmoko, menurut Adaby, mulai menggunakan konsep-konsep Islam sebagai solusi mengakhiri berbagai problem yang melanda dunia.

Seniman Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), yang menjuluki Bung Koko sebagai “Sang Panembahan” sekaligus “embahnya seluruh ilmuwan sosial di negeri ini” mencoba menafsirkan makna meninggalnya Soedjatmoko di Yogyakarta dan khususnya dalam kaitannya dengan UMY. Dalam artikelnya, ‘Eyang Koko telah Ber-Mikraj’, Cak Nun menulis bahwa Yogyakarta, kota tempat Bung Koko meninggal, adalah "laboratorium intelektual keindonesiaan dan tempat di mana aspirasi dan ghairrah kesejarahan hari depan kita diolah”. Kota ini, lanjut Cak Nun, merupakan “panggung yang paling tepat untuk keberangkatan agung” Soedjatmoko.

Adapun tentang meninggalnya Bung Koko ketika akan berceramah di UMY, sebuah lembaga yang berada di bawah naungan Muhammadiyah, Cak Nun mencoba membacanya sebagai bentuk peremajaan ulang visi Muhammadiyah: “Muhammadiyah, betapa pun, adalah suatu kelompok ‘pengolahzaman’ yang dikenal sebagai reformis, pembaru, pengubah, penentu kecenderungan menuju baldah thayyibah. Dan, seandainya Muhammadiyah pada dasawarsa terakhir ini mengalami stagnasi pemikiran serta kegamangan modus-modus gerakan: bukankah ‘pilihan momentum’ kematian Eyang Koko justru merupakan tanda ishlah yang relevan? Dan, Universitas Muhammadiyah: bukankah di sini ‘kawah candradimuka’ paling utama dari elan iqro’-nya Muhammadiyah? Kematian Eyang Koko adalah wudu dan tawaduk yang membersihkan kampus Wirobrajan itu untuk memperoleh kembali daya makrifat ilmiahnya”.

-----

Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2019

Link artikel asli

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement