REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, tindakan Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin yang meminjamkan sejumlah uang ke sks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Stepanus Robinson Pattuju, tak bisa diterima dari sisi etika.
"Meminjamkan kok ke pegawai KPK. Berarti ini kan sesuatu yang dari sisi etika tidak mungkin lagi diterima, " ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada Republika, Selasa (27/7).
Menurut Boyamin bila benar pinjaman, maka harus ada perjanjian pinjaman yang disahkan notaris. Bila tidak ada, maka KPK harus melakukan proses dugaan gratifikasi.
"Ia mengakunya itu (Robin) orang baik perlu dipinjami justru itulah posisi rentan dan rawan. Ini sesuatu yang harus didalami KPK, " tegas Boyamin.
Terlebih, Robin tidak pernah melaporkan hal tersebut. Peminjaman uang tersebut bahkan terungkap setelah kasus atas dirinya sudah dalam proses persidangan.
"Karena tidak dilaporkan ini gratifikasi. Ini harus ditindaklanjuti. Karena pemberian di atas Rp 500 ribu harus dilaporkan maksimal 30 hari kemudian . Ini kan tidak dilaporkan, ketahuan belakanagan pas ketangkap, ini harus didalami dugaan gratifikasi," tegas Boyamin.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengaku pernah meminjamkan uang sejumlah Rp 200 juta ke eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Stepanus Robinson Pattuju. Hal tersebut disampaikan Azis saat bersaksi di sidang kasus suap jual beli jabatan di Pemkab Tanjung Balai dengan terdakwa Wali Kota nonaktif M. Syahrial.
"Ada meminta bantuan saudara terkait uang pinjaman dan sebagainya?," tanya jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Medan, Sumatera Utara, Senin (26/7).
"Meminjam ada," jawab Azis yang bersaksi secara virtual.
Jaksa kembali menegaskan, apakah Robin meminta uang atau meminjam. "Bukan minta tapi pinjam," jawab Azis.
"Berapa?," tanya jaksa.
"Pinjaman saat itu persisnya atas permintaan beliau ada 200 juta apa 150 juta," kata Azis.
Jaksa kemudian mengonfirmasi berita acara yang berisi uraian uang Rp 200 juta. "BAP 19, transfer uang 200 juta melalui rekening BCA Maskur pada 3 agustus 2020, 100 juta dan 5 agutus 100 juta lagi dengan total 200 juta untuk berobat orang tua, berobat mertua, sekolah anak dan kontrakan robin betul?
"Iya," jawab Azis.
Jaksa pun mempertanyakan mengapa Azis mentransfer uang tersebut ke rekening Maskur.
"Tapi kenapa ke Maskur?," tanya jaksa.
"Karena permintaan Robin, dia bilang itu saudara dia," jelas Azis.
Azis mengaku, meminjamkan uang tersebut karena menganggap Robin sebagai adiknya.
"Karena pertama beliau dikenalkan teman lama yaitu pungki kemudian secara attitude saya kenal dia baik, beritanya juga dia baik tidak pernah macam-macam lalu karena masih muda saya anggap dia adik saya," kata Azis.
Azis mengaku, hingga kini uang tersebut belum dikembalikan Robin. Dia juga mengaku, kerap meminjamkan uang pada yang lain.
"Bukan hanya Robin yang pinjam uang ke saya, anggota DPR, ada uang reses yang harus kami salurkan dan amal saya 2,5 persen," ujarnya.
Wali Kota nonaktif Tanjungbalai, M. Syahrial didakwa menyuap mantan penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju sebanyak Rp 1.695.000.000. Suap diberikan agar kasus penyelidikan dugaan korupsi di Pemerintah Kota Tanjungbalai yang sedang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak naik ke tahap penyidikan.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa awal pertemuan, Syahrial dan Robin setelah diperkenalkan Wakil Ketua DPR Muhammad Azis Syamsudin di rumah dinasnya di Jakarta. Pada pertemuan itu, Syahrial menyampaikan kepada Robin akan mengikuti Pilkada periode kedua Tahun 2021 sampai dengan Tahun 2026.
Namun, ada satu kendala yang ia hadapi yakni adanya informasi laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai pekerjaan di Tanjungbalai dan informasi perkara jual beli jabatan di Pemerintahan Kota Tanjungbalai yang sedang ditangani oleh KPK.
Robin kemudian menyampaikan kepada Syahrial agar menyiapkan uang yang diminta itu supaya proses Penyelidikan perkara yang sedang ditangani oleh KPK yang melibatkan Syahrial tersebut tidak naik ke tingkat Penyidikan.
Atas perbuatannya, Syahrial didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana.