REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) belum mengambil sikap atas keputusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang mengurangi hukuman terhadap terpidana korupsi Djoko Sugiarto Tjandra. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan banding Djoko Tjandra terkait suap penghapusan red notice, dan pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA).
Kepala Kejari Jakpus, Riono Budi Santoso mengatakan tim penuntutannya masih mempelajari hasil banding yang mengkorting penjara 4,5 tahun dari Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor), menjadi hanya 3 tahun 6 bulan. “Harap bersabar. Saat ini, tim jaksa penuntut umum (JPU), masih mempelajari putusan banding dari Pengadilan Tinggi itu,” ujar Riono, saat dihubungi wartawan dari Jakarta, Kamis (29/7).
Riono menerangkan, mengacu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 245 ayat 1, tim penuntutan masih punya waktu 14 hari untuk melakukan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa tersebut, berupa kasasi ke Mahkamah Agung (MA), untuk melawan hasil banding PT DKI Jakarta.
Tenggat waktu tersebut setelah tim penuntutan menerima salinan putusan banding. “Putusan atas nama terdakwa Djoko S Tjandra, sudah kami terima,” ujar Riono. Akan tetapi, kata dia, upaya kasasi ke MA, masih menunggu hasil kajian tim penuntutannya.
Majelis Hakim PT DKI Jakarta, pada Rabu (28/7) memutuskan mengabulkan banding Djoko Tjandra terkait perkara korupsi suap red notice. Dalam putusan tersebut, PT DKI Jakarta mengubah hukuman 4,5 tahun penjara dari PN Tipikor Jakarta, menjadi hanya 3 tahun 6 bulan. Putusan hakim tinggi tersebut, lebih ringan dari tuntutan JPU saat persidangan tingkat pertama, yang meminta hakim PN Tipikor memenjarakan Djoko Tjandra selama empat tahun.
Dalam kasus ini, Djoko Tjandra adalah terpidana terkait korupsi cessie Bank Bali 1999 yang merugikan negara Rp 944 miliar. Ia sempat menjadi buronan interpol, dan Kejaksaan Agung (Kejakgung) selama 11 tahun sejak MA memvonisnya bersalah, dan dihukum penjara selama dua tahun pada 2012. Pada Juli 2020, Bareskrim Polri menangkapnya di Malaysia, dan membawanya pulang ke Jakarta, setelah kedapatan pulang-pergi Indonesia-Kuala Lumpur sepanjang Maret-April 2020.
Dari penangkapan tersebut, terungkap Djoko Tjandra, memberikan suap kepada Kadiv Hubinter Mabes Polri Irjen Napoleon Bonaparte, senilai 200 ribu dolar Singapura, dan 370 ribu dolar Amerika. Djoko Tjandra juga menyuap kepada Korwas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo, senilai 100 ribu dolar Amerika. Pemberian uang tersebut, lewat seorang pengusaha Tommy Sumardi.
Suap tersebut, diberikan kepada dua perwira Polri itu, agar nama Djoko Tjandra tak ada lagi dalam daftar buronan, serta untuk ia dapat kembali ke Indonesia. Selain kasus tersebut, Djoko Tjandra juga terbukti memberikan suap, kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari senilai 500 ribu dolar Amerika untuk pengurusan fatwa bebas dari MA, terkait kasusnya pada 2012.