Jumat 30 Jul 2021 18:22 WIB

ICW Tegaskan tak Gentar dengan Ancaman Moeldoko

ICW masih menunggu Moeldoko dan tim hukumnya memberikan somasi secara resmi.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Peneliti Iindonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti Iindonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) belum menerima somasi secara resmi dan tertulis dari Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko maupun tim kuasa hukumnya. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menegaskan pihaknya tidak gentar dengan ancaman hukum yang dilayangkan jenderal purnawirawan itu, terkait dengan hasil riset dan investasi Polemik Ivermectin: Berburu Rente di Tengah Krisis.

"Hingga saat ini, ICW belum menerima somasi resmi dalam bentuk tertulis dari pihak Moeldoko," kata Kurnia kepada Republika.co.id, Jumat (30/7). 

Baca Juga

Kurnia melanjutkan, karena belum ada somasi resmi tertulis dari Moeldoko, maka ICW tak bisa mengomentari banyak terkait dengan ancaman hukum tersebut. ICW juga belum bisa menjawab apa saja yang menjadi keberatan Moeldoko terkait polemik Ivermectin dan beras.

"Jadi, kami tidak mengetahui poin-poin apa yang menjadi keberatan pihak Moeldoko, maupun tim pengacaranya. Akan tetapi, kami (ICW) juga menegaskan, bahwa kerja-kerja pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, terutama dalam hal pengawasan, tidak akan berhenti karena adanya isu (ancaman) ini," ujarnya.

Kurnia mengatakan, ICW juga menyampaikan terimakasih atas dukungan ratusan lembaga swadaya dan puluhan badan eksektif mahasiswa (BEM) lainnya, yang turut membela langkah ICW membeberkan hasil temuan dan investigasi terkait pemburu rente dalam kampanye ivermectin.

Sebelumnya ICW memaparkan terbuka hasil temuan, dan investagasi terkait dengan kampanye, dan pemasaran ivermectin. Dalam risalah dengan judul Polemik Ivermectin: Berburu Rente di Tengah Krisis, pekan lalu, ICW mengatakan adanya dugaan praktik-praktik koruptif berupa perdagangan pengaruh yang dilakukan sejumlah pejabat, dan politikus dalam peredaran ivermectin di masa pandemi Covid-19.

Dalam temuannya, ICW menyebutkan adanya dugaan keterlibatan Moeldoko, lewat peran putrinya Joanina Rachman yang juga staf di kepresidenan dalam produksi, dan peredaran ivermectin. Obat yang dikatakan dapat meringankan penderita Covid-19 tersebut, diproduksi oleh PT Harsen Lab. Produsen farmasi itu, dikelola Sofia Koswara, rekan bisnus Joanina, yang turut memegang kepemilikan saham di PT Noorpay Perkasa.

Dalam temuannya itu, ICW juga menyebutkan adanya keterlibatan politikus PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning, dan putranya Riyo Kristianto Utomo. Masih menurut temuan ICW itu, disebutkan pula adanya kongkalikong antara Sofia, dalam bisnis ekspor beras dengan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), organisasi yang dipimpin Moeldoko. 

Menanggapi hasil investigasi ICW tersebut, Moeldoko, maupun Ribka Tjiptaning menolak tuduhan ICW itu, dan mengancam membawa pemaparan tersebut ke ranah hukum.  Pada Kamis (29/7), Moeldoko lewat kuasa hukumnya Otto Hasibuan, resmi melayangkan somasi terbuka kepada ICW. Dalam pernyataannya, Otto meminta agar ICW membuktikan hasil temuannya itu. Moeldoko, kata Otto, memberikan waktu 1x24 jam kepada ICW, untuk mencabut pernyataan, dan menyampaikan maaf tertulis kepada Moeldoko via pemberitaan di media. 

"Atau kalau tidak, kami atas nama klien kami (Moeldoko), akan melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian," ujar Otto, Kamis (29/7).

Terkait ancaman Moeldoko kepada ICW tersebut, pada Jumat (30/7), sekitar 109 lembaga pegiat hukum, dan sipil, serta puluhan badan eksekutif mahasiswa (BEM), mendesak agar Moeldoko mencabut somasi, dan menghentikan ancaman hukum terhadap ICW. Menurut koalisi sipil tersebut, aksi somasi, dan ancaman ke jalur hukum terhadap ICW, adalah bentuk gamblang dari arogansi, dan sikap represif pejabat negara terhadap kelompok masyarakat yang melakukan fungsi pengawasan pemerintah.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement