REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Badan intelijen Amerika Serikat (AS) sedang 'menggali harta karun' berupa data genetik yang bisa menjadi kunci untuk mengungkap asal usul virus Dorona. Menurut pihak yang mengetahui masalah itu, katalog informasi raksasa ini berisi cetak biru genetik yang diambil dari sampel virus yang dipelajari di laboratorium di Wuhan, China.
Mesin yang terlibat dalam pembuatan dan pemrosesan data genetik semacam ini dari virus biasanya terhubung ke server berbasis cloud eksternal. Sumber menduga data tersebut didapatkan dengan peretasan.
Meski telah mengantongi data genetik itu, menerjemahkan segunung data mentah ini menjadi informasi yang dapat digunakan menghadirkan berbagai tantangan. Langkah lanjutan ini merupakan satu bagian dari upaya 90 hari komunitas intelijen untuk mengungkap asal-usul pandemi virus korona yang diperintahkan Presiden Joe Biden.
Untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, badan intelijen mengandalkan superkomputer di Laboratorium Nasional Departemen Energi, kumpulan dari 17 lembaga penelitian elite pemerintah. Nantinya dalam proses tersebut dibutuhkan berbagai ahli termasuk bahasa karena informasi tersebut ditulis dalam bahasa China dengan kosakata khusus.
"Jelas ada ilmuwan yang (keamanan) bersih. Namun, yang berbahasa Mandarin yang dibersihkan? Itu kolam yang sangat kecil. Dan bukan sembarang ilmuwan, tapi yang berspesialisasi dalam bio? Jadi Anda bisa melihat betapa cepatnya ini menjadi sulit," kata salah satu sumber yang akrab dengan intelijen kepada CNN.
Pejabat yang melakukan tinjauan 90 hari berharap informasi ini akan membantu menjawab pertanyaan tentang bagaimana virus berpindah dari hewan ke manusia. Hal itu juga membuka misteri itu sangat penting untuk akhirnya menentukan apakah Covid-19 bocor dari laboratorium atau ditularkan ke manusia dari hewan di alam liar.
Para penyelidik baik di dalam maupun di luar pemerintah telah lama mencari data genetik dari 22 ribu sampel virus yang sedang dipelajari di Institut Virologi Wuhan. Data itu dihapus dari internet oleh pejabat China pada September 2019 dan China sejak itu menolak untuk menyerahkan ini serta data mentah lainnya tentang kasus awal virus Corona ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan AS.