REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Aditya Perdana, menilai partisipasi perempuan sebagai penyelenggara pemilu perlu ditingkatkan. Aditya menilai, antusiasme perempuan untuk mengikuti proses seleksi sebagai penyelenggara pemilu semakin baik.
"Peningkatan partisipasi perempuan sebagai penyelenggara pemilu perlu terus diperjuangkan demi terciptanya keadilan gender serta upaya mewujudkan pemilu yang lebih baik, yang sesuai dengan prinsip inklusif dan demokratis," kata Aditya dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (21/8).
Aditya mengatakan, proses seleksi penyelenggara pemilu adalah salah satu kondisi yang strategis untuk menjaga keberlangsungan demokrasi Indonesia saat ini. Para penyelenggara pemilu yang independen, berintegritas tinggi, dan menunjukkan perilaku adil dan bijaksanamenjadi kriteria yang dibutuhkan dalam menghadapi Pemilu 2024.
"Data perbandingan peserta seleksi KPU dan Bawaslumenunjukkan bahwa ada tren penurunan jumlah total peserta seleksi yang terjadi dari tahun 2012 dan 2016," ujarnya.
Dalam konteks partisipasi perempuan dalam proses seleksi, meskipun secara jumlah menurun namun apabila dilihat dari persentasenya terdapat tren peningkatan jumlah peserta perempuan, baik yang mengikuti seleksi KPU RI maupun Bawaslu RI. Hal ini menunjukkan antusiasme perempuan untuk mengikuti proses seleksi yang semakin baik.
Namun sayangnya, Aditya mengatakan keterpilihan perempuan sebagai komisioner di KPU RI dan Bawaslu RI masih terbilang rendah untuk periode 2017-2022, yaitu hanya sebanyak 1 dari 7 orang (KPU) dan 1 dari 5 orang (Bawaslu). Jumlah ini masih jauh dari angka minimal 30 persen keterwakilan perempuan.
Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, jumlah perempuan sebagai penyelenggara pemilu jauh dari memadai. Bahkan ada beberapa daerah yang tidak memiliki komisioner perempuan dalam struktur penyelenggara pemilu.Aditya mengatakan hambatan perempuan dalam proses seleksi.
Rendahnya jumlah perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu tidak terlepas dari berbagai hambatan yang dialami perempuan, antara lain faktor keterbatasan informasi mengenai mekanisme proses seleksi, lingkungan politik yang tidak sensitif gender, hingga hambatan yang bersifat sosial kultural.
"Apabila kita ingin menghadirkan Pemilu 2024 sebagai pemilu yang inklusif bagi semua kelompok, maka struktur penyelenggara pemilu yang inklusif dengan memperhatikan kesetaraan gender menjadi prasyarat penting," ujarnya.
Untuk menuju hal tersebut, salah satu titik krusialnya tentu berada dalam pembentukan tim seleksi yang harus mempertimbangkan keterwakilan perempuan dan memiliki perspektif gender yang kuat. Tim Seleksi juga dapat memberikan porsi perhatian yang serius dalam menjaga jumlah keterwakilan yang memadai hingga tahap akhir seleksi.
"Komitmen para politisi di DPR RI dalam memberikan kebijakan yang tentu berpihak kepada keterwakilan perempuan. Harapannya, jumlah komisioner perempuan yang dipilih Komisi II DPR RI nanti bisa lebih banyak dibandingkan dengan periode sebelumnya," katanya.
Pemerintah akan memulai seleksi penyelenggara pemilu (KPU RI dan Bawaslu RI) periode 2022-2027. Salah satu tahap awalnya adalah pemerintah akan menetapkan tim seleksi, untuk kemudian dilanjutkan dengan proses seleksi hingga proses penetapan di DPR RI.
Proses seleksi penyelenggara pemilu adalah salah satu kondisi yang strategis untuk menjaga keberlangsungan demokrasi Indonesia saat ini. Para penyelenggara pemilu yang independen, berintegritas tinggi, dan menunjukkan perilaku yang adil dan bijaksana tentunya menjadi kriteria yang dibutuhkan dalam menghadapi Pemilu 2024.