REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR Taufik Basari khawatir dengan implikasi amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Salah satunya, kewenangan MPR yang semakin kuat dan akan berdampak terhadap sistem ketatanegaraan.
"Apakah presiden kembali menjadi mandataris MPR? Itu konsekuensi kait-berkait ketika kita memasukkan PPHN ke dalam UUD 1945. Apakah kita butuh seperti itu atau tidak?" ujar pria yang akrab disapa Tobas itu dalam diskusi daring, Rabu (1/9).
Ia juga khawatir, amendemen UUD tak hanya akan berkutat pada Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Selama prosesnya, amendemen mungkin akan menyeret pasal-pasal lain di luar hal tersebut.
"Karena itu, kemungkinan terjadinya membuka kotak Pandora akan selalu terbuka. Itu yang harus kita perhatikan betul-betul," ujar Tobas.
Fraksi Partai Nasdem MPR tak mau terburu-buru dalam rencana amendemen UUD. Nasdem akan mendengarkan pendapat masyarakat terlebih dahulu terkait urgensi amendemen konstitusi.
Baca juga : Wakil Ketua MPR: Amendemen UUD Perlu Libatkan Elemen Bangsa
"Untuk kita masukkan kembali konsepnya (PPHN) berarti kita harus evaluasi dulu apa kemarin keputusan mengeluarkan sudah tepat atau belum, atau ada kekurangan sehingga kita harus masukan kembali," ujar anggota Komisi III DPR itu.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengkritisi hadirnya rencana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang bertujuan untuk menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Padahal pada pemilihan umum (Pemilu) 2019, tak ada satu pun partai politik yang mengkampanyekan hal tersebut.
Amendemen UUD, nilai Feri, berasal dari kepentingan politik dan yang diuntungkan adalah partai-partai yang saat ini dominan. Hal tersebutlah yang akan menimbulkan pertarungan tak sehat dan dapat menyebabkan keributan.
"Itu bukan kepentingan publik, tapi kepentingan elite. Indikatornya pemilu kemarin tidak ada yang kampanye (PPHN), kalau publik tahu maka dia akan berdialog dengan para calon (presiden)," ujar Feri.