REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Uni Eropa mengatakan akan menjalin komunikasi dengan Taliban selaku pemegang kekuasaan di Afghanistan saat ini. Namun hal itu tak akan dilakukan tergesa-gesa.
“Tidak ada keraguan di antara negara-negara anggota (Uni Eropa) dan dalam konteks G7; kita perlu terlibat dengan Taliban, kita perlu berkomunikasi dengan Taliban, kita perlu mempengaruhi Taliban, kita perlu memanfaatkan pengaruh yang kita miliki. Tapi kami tidak akan terburu-buru mengakui formasi baru ini, atau menjalin hubungan resmi," kata Direktur Pelaksana Komisi Eropa untuk Asia dan Pasifik Gunnar Wiegand kepada anggota Parlemen Eropa pada Rabu (1/9).
Dia mengatakan, hubungan resmi dengan Taliban hanya akan terjalin jika kelompok tersebut memenuhi persyaratan tertentu, termasuk penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan pembentukan pemerintahan inklusif serta representatif. Selain itu, Taliban harus membuka pintu bagi warga Afghanistan yang ingin meninggalkan negara tersebut.
Satu hal lain yang tak kalah penting, yakni Taliban harus dapat memastikan Afghanistan tidak menjadi surga atau sarang kelompok teroris. Wiegand berpendapat, belum jelas apakah Taliban dapat menjalankan pemerintahan secara efektif.
Baca juga : Janji Taliban ke Menlu Retno P Marsudi
Saat berbicara di Parlemen Eropa, Wiegand pun menyerukan penilaian tentang adakah hal-hal yang salah selama 20 tahun keterlibatan Barat di Afghanistan. Hal itu mengacu pada evakuasi warga sipil dan pasukan asing yang kacau setelah serangan Taliban ke Kabul.
“Kita harus membuat penilaian tentang alasan mengapa kehancuran seperti itu mungkin terjadi. Kita harus mengambil pelajaran untuk situasi serupa dan ini akan menjadi yang dimulai sekarang,” kata Wiegand.
Dia mengatakan eksekutif Uni Eropa berencana memperoleh dana 300 juta euro tahun ini dan tahun depan. Dana itu bakal digunakan untuk memukimkan kembali sekitar 30 ribu warga Afghanistan yang melarikan diri.