Senin 06 Sep 2021 18:28 WIB

Varian Mu yang Diindikasikan tak Menyebar Secepat Delta

Vaksin Covid-19 yang tersedia dinilai masih ampuh berhadapan dengan varian Mu.

Covid-19 terus bermutasi, salah satu varian terbarunya adalah varian Mu atau B.162.
Foto: Max Pixel
Covid-19 terus bermutasi, salah satu varian terbarunya adalah varian Mu atau B.162.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Arie Lukihardianti

Kemunculan varian baru Covid-19 akan selalu ada selama virus corona belum hilang. Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) telah mengklasifikasikan varian baru Covid-19 yaitu Mu atau B.1621 sebagai variant of interest (VoI) sejak pekan lalu. Varian Mu diindikasi jadi mutasi dari varian Covid-19 yang lain yaitu Alfa.

Baca Juga

Ahli Virologi Universitas Udayana Bali Gusti Ngurah Kade Mahardika telah melakukan analisis virus Mu ini dan kemampuannya yang kebal terhadap vaksin Covid-19. "Dia (varian Mu) hanya perubahan minor dari beberapa asam amino dibandingkan varian yang lain dan virus yang dari Wuhan, China. Ada indikasi bahwa varian Mu ini turunan atau mutasi dari varian Alfa, dia hanya berbeda sedikit di asam amino dibandingkan dengan (Covid-19 asal) di Wuhan dan dibandingkan dengan virus biasa," ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (6/9).

Selain itu, ia sama sekali tidak melihat indikasi bahwa varian Mu akan resisten terhadap vaksin Covid-19. Jadi, dia menegaskan vaksin Covid-19 masih efektif untuk melindungi dari varian ini.

Bahkan, ia menilai penyebaran Mu ini tak secepat varian Delta. Mahardika melihat varian Mu ini baru terbatas ada di Amerika Selatan. Dari data yang tersedia, ia menyebutkan varian virus Mu berkontribusi 3 sampai 5 persen Covid-19 yang beredar di pekan ini. Sedangkan di tempat lain seluruh dunia baru di bawah 1 persen.

Artinya, ia menilai varian Mu yang belum menggila karena masih terbatas ada di Amerika Selatan dengan proporsi yang masih rendah. Kendati demikian, ia meminta ini menjadi tugas pemerintah untuk mengerem memperketat masuknya orang dari luar negeri, baik orang asing maupun warga negara Indonesia (WNI) yang masuk ke Indonesia.

"Kemudian protokolnya tidak boleh ditawar, jadi jangan dikompromikan, yaitu polymerase chain reaction (PCR) negatif, karantina lima hari. Kalau bisa diperpanjang dan tes PCR lagi dan kalau negatif baru pulang," katanya.

Kendati demikian, ia mengakui daya sebar varian Mu ini tidak secepat varian Delta. Apalagi varian Delta sudah menjadi mayoritas 90 persen kasus di dunia dan 60 persen di Indonesia.

Terkait Covid-19 yang terus bermutasi, ia membenarkannya. Ia menjelaskan, Covid-19 adalah virus yang akan terus bermutasi yang bisa menjadi dua arah yaitu menjadi ganas dan yang lainnya jadi kurang ganas. Kalau mutasi virus menjadi kurang ganas, ia menyontohkan itu yang terjadi pada mutasi flu Spanyol 100 tahun yang lalu dan kini kemudian menjadi flu biasa. Ia berharap mutasi Covid-19 bisa menjadi kurang ganas karena ini bisa segera mengakhiri pandemi.

"Kalau mutasinya jadi kurang ganas dan cepat menyebar maka itu ciri-ciri akhir pandemi," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa varian Mu saat ini sudah menjadi varian yang perlu dipelajari. Awal 2021 sudah dikabarkan muncul di Kolombia, selain itu tidak hanya di Kolombia varian Mu juga menyebar di wilayah lain dengan persentase yang rendah. Menurutnya, munculnya varian Mu bisa jadi turunan dari varian Alfa yang menyebar dari Inggris.

Sayangnya, dia menambahkan, yang diperhatikan hanya selalu yang berpotensi jadi lebih ganas seperti varian Delta. Ia menjelaskan, varian Delta yang mempunyai daya sebar luar biasa tinggi dan lebih mudah menyebar antarorang meski tidak ganas. Oleh karena itu, untuk melindungi diri maka ia meminta masyarakat segera divaksin.

"Sebab, vaksin masih efektif untuk melindungi virus ini. Masyarakat segera vaksin diri masing-masing," katanya.

Vaksinasi penting dilakukan karena tren perkembangan terakhir kasus Covid-19 di Eropa seperti Inggris dan Jerman ternyata kembali naik. Padahal, dia melanjutkan, target vaksinasi di negara-megara tersebut sudah mencapai 60 atau 70 persen, tetapi kasus Covid-19 kembali melonjak meski kematiannya tidak menjadi tinggi.

Artinya, dia menjelaskan, vaksinasi hanya mampu menekan risiko kematian tetapi tidak mampu mencegah transmisi komunitas. Padahal, awalnya vaksin diharapkan bisa melindungi transmisi di lingkungan komunitas.

"Dari sana saya melihat pemerintah harus merevisi kembali target vaksinasi yang tadinya 70 persen, kalau bisa sekarang di atas 90 persen atau bahkan bisa 100 persen. Sebab, nampaknya vaksin tidak terlalu menekan transmisi komunitas," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement