Rabu 08 Sep 2021 11:32 WIB

Sanae Takaichi, Perempuan Pertama Jadi Kandidat PM Jepang

Takaichi mendapatkan dukungan dari Shinzo Abe

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Sanae Takaichi, perempuan pertama jadi kandidat perdana menteri Jepang
Foto: EPA
Sanae Takaichi, perempuan pertama jadi kandidat perdana menteri Jepang

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat Liberal (LDP) di Parlemen Jepang akan menoreh sejarah baru. Sanae Takaichi (60 tahun) akan menjadi perempuan pertama dalam daftar bursa pengganti Yoshihide Suga sebagai Perdana Menteri.

Takaichi mendapatkan dukungan dari Shinzo Abe, PM Jepang periode 2006-2007, dan 2012-2020 serta 20 anggota LDP. Mantan menteri urusan dalam negeri wanita pertama dalam pemerintahan Abe itu akan mengumumkan pencalonannya sebagai ketua LDP pada Rabu (8/9) pukul 16.00 waktu setempat. Jika ia berhasil dalam pemilihan ketua partai, ia akan menjadi perdana menteri perempuan pertama Jepang.

Baca Juga

LDP akan mengadakan pemilihan kepemimpinan partai pada 29 September mendatang setelah Suga mengumumkan pengunduran dirinya Jumat pekan lalu. Sejauh ini mereka yang terang-terangan mencalonkan diri sebagai ketua partai adalah menteri luar negeri Fumio Kishida. Sementara Menteri vaksinasi Covid-19 Taro Kono dan Takaichi telah mengisyaratkan ambisi mereka untuk mencalonkan diri.

Siapapun yang akan menang dalam pemilihan pemimpin partai LDP, dia akan memimpin partai ke pemilihan majelis rendah yang diadakan pada 28 November. Ini pun akan menjadikan daya tarik publik sebagai faktor penting dalam memilih pemimpin baru.

Takaichi mengatakan, dia ingin mengatasi masalah yang belum terselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya, seperti mencapai inflasi 2 persen. Dia juga bakal memperkenalkan undang-undang soal pencegahan data informasi sensitif ke China.

Dia mengatakan anggaran tambahan perlu disusun cepat untuk meningkatkan sistem medis Jepang, yang berada di bawah tekanan karena pandemi. Seorang anggota sayap paling konservatif partai, dia sering mengunjungi Kuil Yasukuni, sebuah peringatan untuk perang Jepang yang mati. Kunjungan seperti itu oleh para pemimpin Jepang membuat marah musuh lama masa perang seperti China dan Korea Selatan. Dia juga menentang mengizinkan pasangan menikah untuk menyimpan nama keluarga yang terpisah, yang mengecewakan para pendukung hak-hak perempuan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement