Kamis 16 Sep 2021 20:02 WIB

Sikapi Aksi Demo, Polisi Harus Bersikap Humanis

Indonesia mengalami regresi demokrasi yang serius

Rep: Rizki Suryarandika/ Red: Budi Raharjo
Sejumlah anggota Polisi membubarkan aksi unjuk rasa dan menangkap mahasiswa yang tergabung dalam KUMALA (Keluarga Mahasiswa Lebak) di Bundaran Ciceri, Serang, Banten, Selasa (18/5/2021). Polisi mengaku membubarkan aksi demo mahasiswa tersebut karena dilakukan di tengah jalan dengan membakar ban sehingga mengganggu arus lalu lintas.
Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman
Sejumlah anggota Polisi membubarkan aksi unjuk rasa dan menangkap mahasiswa yang tergabung dalam KUMALA (Keluarga Mahasiswa Lebak) di Bundaran Ciceri, Serang, Banten, Selasa (18/5/2021). Polisi mengaku membubarkan aksi demo mahasiswa tersebut karena dilakukan di tengah jalan dengan membakar ban sehingga mengganggu arus lalu lintas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Research Institute (PVRI) Usman Hamid menyayangkan aksi berlebihan aparat kepolisian dalam merespons kritik masyarakat. Ia mendesak kepolisian bersikap humanis dalam menyikapi aksi masyarakat.

Pernyataan Usman sekaligus merespons Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo yang menerbitkan Surat Telegram (TR) sebagai pedoman cara bertindak jajaran di wilayah agar tetap humanis dan tidak reaktif. Hal ini menyusul beberapa aksi masyarakat dan mahasiswa saat menyampaikan aspirasi ketika kunjungan Presiden Joko Widodo.

"Petugas polisi harus menjadi pelayan dan pelindung yang humanis. Sebab itu adalah ciri-ciri Polisi dari sebuah negara demokratis," kata Usman kepada Republika, Kamis (16/9).

Usman mengamati Indonesia mengalami regresi demokrasi yang serius. Menurutnya, ini adalah dampak pelemahan lembaga-lembaga demokrasi produk reformasi oleh kekuatan politik yang korup. Ia meminta Presiden Jokowi harus mencegah regresi demokrasi lebih jauh.

"Represi semakin terlihat di tingkat Negara dengan penerapan pasal-pasal karet dan represif seperti pasal pencemaran nama baik, penodaan agama, makar, hingga penghinaan pejabat yang ada dalam UU ITE dan KUHP. Peraturan ini digunakan untuk memidanakan ekspresi dan pendapat yang dianggap kritis," ujar Usman yang juga direktur Amnesty International Indonesia.

PVRI mendesak pemerintah agar mencegah fenomena regresi demokrasi lebih jauh. Ia menyarankan pemerintah perlu mengatasinya dengan beberapa cara. Salah satunya, pemerintah perlu memperbaiki kualitas ruang publik dengan menjamin hak untuk menyatakan kritik dan menyampaikan protes publik, termasuk dengan cara berkumpul dan berserikat. 

"Dalam hal ini, pemerintah perlu merevisi hukum-hukum yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat seperti UU ITE dan KUHP terkait penodaan agama, makar, penghinaan pejabat, dan pencemaran nama baik," tegas Usman.

Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono di Jakarta, Rabu malam, menjelaskan Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/862/IX/PAM.3/2021 diterbitkan 15 September 2021 ditujukan kepada para Kasatwil jajaran Polda seluruh Indonesia untuk memperhatikan pedoman yang telah diarahkan oleh Kapolri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement