Selasa 21 Sep 2021 19:22 WIB

Sosiolog: Penganiayaan Muhammad Kece Masalah Individu

Tindakan Napoleon Bonaparte menganiaya Kece dianggap tidak proporsional.

Red: Ratna Puspita
Ahli sosiologi hukum Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berharap masyarakat tidak terprovokasi terkait kasus penganiayaan Muhammad Kosman alias Muhammad Kece (MK) karena penganiayaan itu masalah individu. (Ilustrasi Tahanan)
Foto: Republika/Mardiah
Ahli sosiologi hukum Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berharap masyarakat tidak terprovokasi terkait kasus penganiayaan Muhammad Kosman alias Muhammad Kece (MK) karena penganiayaan itu masalah individu. (Ilustrasi Tahanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli sosiologi hukum Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berharap masyarakat tidak terprovokasi terkait kasus penganiayaan Muhammad Kosman alias Muhammad Kece (MK). Sebab, penganiayaan itu merupakan permasalahan individu.

"Jangan terprovokasi. Ini masalah individu, bukan masalah atribut sosial sebagai Muslim," kata Trubus dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (21/9).

Baca Juga

Kece melaporkan dugaan penganiayaan dirinya di Bareskrim Polri, dengan Irjen Polisi Napoleon Bonaparte (NB) sebagai terlapor. Trubus mengatakan tindakan NB dianggap tidak proporsional dengan mengangkat alasan membela agama islam atas perbuatannya kepada publik melalui surat terbuka.

"Jadi kalau ditinjau secara sosiologi, ada interaksi antara NB dan MK, dimana dalam interaksi itu tidak berlangsung harmonis," ujar Trubus.

Trubus menjelaskan dalam ilmu sosiologi hukum, ada pihak yang memperoleh perlakuan sebagai stimulus pesan, dimaknai secara berbeda. Dengan pelaku NB dan korban adalah MK, perkara ini bersifat individual.

"NB tidak mewakili atribut sosial sebagai seorang polisi ataupun karena beragama Islam. Maka, ini bukan perilaku institusional. Begitu pula dengan MK, dia tidak mewakili perilaku institusional dirinya sebagai korban. Saya tidak tahu atribut apa yang melekat dengan MK, kalau NB kan semua orang mengenalinya dengan latar belakang polisi," tutur Trubus.

Trubus menilai kasus tersebut unik karena tiba-tiba publik dihebohkan dengan surat terbuka dari NB, yang mengakui telah melakukan penganiayaan MK di dalam rutan. Padahal sebelumnya, publik tidak memahami ada permasalahan ini. 

Selain itu, isu itu baru ramai diperbincangkan publik hampir satu bulan pasca-kejadian. "Dalam surat terbuka itu, kemudian NB melakukan pembelaan bahwa penganiayaan dilakukan atas dasar membela agama. Ini kan yang akhirnya menimbulkan sentimen argumen di publik," ujarnya.

Trubus mengatakan, ketika membaca utuh surat terbuka itu, NB juga mengungkapkan MK dianggap memecah belah persatuan dan kesatuan. Tanpa disadari, tindakan NB yang dalam sosiologi dinilai tidak proporsional, akan menggiring pada pro dan kontra opini di masyarakat.

"Poin saya dalam hal itu adalah jangan melihat apa yang tersuratnya, tapi lihat meaning (makna) yang akhirnya mempertontonkan sebuah akrobat isu tertentu. Yang diasumsikan, karena kepentingannya NB tidak terpenuhi," kata Trubus.

Trubus berpesan, agar masyarakat jeli melihat permasalahan itu. Perkara tersebut terlihat memiliki rancang bangun untuk membuat segala sesuatunya bisa digiring untuk memojokkan atau membenarkan salah satu pihak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement