Selasa 05 Oct 2021 18:26 WIB

Hakim MK: Terlalu Banyak Pihak Terlibat Dalam Pemilu

Saldi menilai keberadaan lembaga penyelenggara pemilu akibat Pasal 22E ayat (5) UUD.

Hakim Konstitusi Saldi Isra memimpin sidang panel pendahuluan perselisihan hasil pemilihan Bupati Ogan Komering Ulu Selatan dan Bupati Ogan Komering Ulu Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (29/1/2021). Mahkamah Konstitusi menyidangkan Perselisihan Hasil Pilkada tahun 2020 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan terhadap 28 perkara dari total 132 perkara yang terdaftar.
Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Hakim Konstitusi Saldi Isra memimpin sidang panel pendahuluan perselisihan hasil pemilihan Bupati Ogan Komering Ulu Selatan dan Bupati Ogan Komering Ulu Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (29/1/2021). Mahkamah Konstitusi menyidangkan Perselisihan Hasil Pilkada tahun 2020 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan terhadap 28 perkara dari total 132 perkara yang terdaftar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anggota majelis hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) Saldi Isra mengatakan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia rumit karena melibatkan terlalu banyak pihak di dalam prosesnya. "Pemilu kita yang ruwet dan rumit itu terlalu banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Ada yang menyelesaikan tahapan administrasi, etik, hingga sengketa hasil," kata Saldi Isra dalam Sidang Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021 yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Selasa (5/10).

Pernyataan tersebut menanggapi keterangan kuasa hukum Presiden, Wahyu Chandra Purwo Negoro, yang memaparkan desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang melibatkan KPU, Bawaslu, dan DKPP. Komisi Pemilihan Umum (KPU) berperan sebagai pelaksana dan pengendali penyelenggaraan pemilu. Lembaga ini akan diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan pemilu.

Sementara itu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akan mengawasi sikap dan perilaku anggota KPU dan anggota Bawaslu dalam penyelenggaraan pemilu. Dalam pelaksanaannya, DKPP membentuk Majelis Kehormatan DKPP untuk mengawasi penerapan kode etik internal anggota DKPP sehingga menjamin integritas dan kemandirian masing-masing individu lembaga DKPP.

"KPU, Bawaslu, dan DKPP 'kan lahir dari pemaknaan atau tafsir konstitusi yang ada dalam Pasal 22E (ayat 5 UUD NRI Tahun 1945, red.). Sudah ada atau enggak diskusi yang mendalam di internal pemerintah, tentang bagaimana sih desain sistem kepemiluan kita dan desain penyelenggaraan ini ke depan," tutur Saldi.

Keberadaan lembaga-lembaga tersebut, menurut Saldi, merupakan akibat dari Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Ketiadaan huruf kapital dalam frasa komisi pemilihan umum menjadikan frasa tersebut ditafsirkan oleh pembuat aturan sebagai fungsi, bukan institusi.

Hasil dari tafsir pasal tersebut yang kemudian mengakibatkan kehadiran lembaga-lembaga pemilihan umum. "Pemerintah harus berdiskusi terkait ini. Soal pemilu dan penyelenggara pemilu itu tidak terhindarkan tingkat urgensinya. Mestinya, sudah ada diskusi-diskusi yang kayak begini di Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri)," tegas Saldi.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement