REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum empat mantan anggota Partai Demokrat, Yusril Ihza Mahendra tertawa ketika dicap memiliki pemikiran seperti pemimpin Nazi Adolf Hitler oleh Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman. Padahal, ia dulu pernah mengkritik habis-habisan buku-buku pemikiran Hitler ketika menjadi asisten Prof Osman Raliby.
Yusril menceritakan, Prof Osman sendiri adalah tokoh Masyumi yang pernah berguru dengan Goebbels ketika kuliah di Berlin menjelang Perang Dunia II. Karena itu, ia tertawa ketika Benny menyebutnya menggunakan cara berpikir totaliter dalam menguji anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Partai Demokrat.
“Seingat saya Benny Harman mengikuti kuliah saya Filsafat Hukum dan Teori Ilmu Hukum ketika dia mahasiswa Pascasarjana UI. Peserta pascasarjana tidak mengesankan dirinya penganut faham totaliter Nationale Sosialismus atau Nazi," ujar Yusril lewat keterangan tertulisnya, Senin (11/10).
Pada masa Orde Baru, cerita Yusril, ia kerap disebut sebagai pihak ekstrem kanan oleh Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo. Lain halnya oleh Amerika Serikat yang menganggapnya sebagai Islam radikal.
“Dua pekan lalu saya dijuluki pengacara 100 miliar. Sekarang saya dijuluki lagi sebagai Nazi pengikut Hitler, masih untung saya tidak dijuluki PKI," ujar Yusril.
Di samping itu, omongan Benny terkait keinginan negara untuk memaksakan kehendak tidak ada pijakan intelektualnya. Sebab, Yusril mengaku masih menjadi manusia bebas yang tak memihak kepada siapapun, termasuk pemerintah.
“Kebijakan pemerintah Presiden Jokowi pun tidak jarang saya kritik. Saya memang bukan bagian dari pemerintah” tegas Yusril.
Diketahui, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny K Harman mengaku tak habis pikir dengan cara pikir Yusril Ihza Mahendra yang menjadi kuasa hukum empat orang mantan kader Partai Demokrat dalam pengajuan uji materiil anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Partai Demokrat ke Mahkamah Agung (MA). Menurutnya, cara berpikir yang dipakai oleh Yusril serupa dengan pemikiran pimpinan Nazi, Adolf Hitler.
"Asal usul teori yang dipakai atau yang digunakan oleh Yusril Ihza dalam menghadirkan permohonan JR (judicial review) AD/ART ke MA, maka diduga kuat cara pikir ini berasal dari cara pikir totalitarian ala Hitler," ujar Benny di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin (11/10).
Totalitarian ala Hitler, jelas Benny, dinilai berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Sebab, organisasi sipil seperti partai politik harus mengikuti kehendak negara, dengan menggunakan alasan hukum sebagai patokannya.
"Dalam cara pikir hukum Hitler itu, yang dikehendaki negara harus diikuti seluruh organisasi sipil. Dalam hal ini dengan cara pikir itu tadi, Yusril mencoba untuk menguji apakah kehendak anggota-anggota partai politik, Partai Demokrat sejalan dengan kehendak atau kemauan negara," ujar Benny.