REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan mantan Direktur Utama (Dirut) Perum Perindo, dan satu swasta sebagai tersangka tambahan dalam penyidikan kasus dugaan korupsi di Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) 2016-2019, Rabu (27/10). Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejakgun) Leonard Ebenezer Simanjuntak mengatakan, dua tersangka baru yang ditetapkan tersebut adalah RU dan SJ.
“Sehingga saat ini, dalam penyidikan dugaan korupsi di Perum Perindo, menjadi lima orang tersangka,” ujar Ebenezer, di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejakgung, di Jakarta, Rabu (27/10). Ebenezer menerangkan, tersangka RU, adalah Riyanto Utomo yang ditetapkan tersangka sebagai Direktur Utama (Dirut) PT Global Prima Santosa. Sedangkan tersangka SJ, adalah Sahrial Japarin, yang ditetapkan tersangka sebagai mantan Direktur Utama (Dirut) Perum Perindo 2016-2017.
“Tersangka SJ, saat ini menjabat sebagai Deputi Pengusahaan BP Batam,” kata Ebenezer.
Dalam kasus Perum Perindo ini, pekan lalu, penyidikan di Jampidsus menetapkan tiga tersangka awalan, Kamis (21/10). Tiga itu, yakni Wenny Prihatini (WP), yang ditetapkan tersangka sebagai Wakil Presiden Perdagangan, Penangkapan, dan Pengelolaan Perum Perindo. Dua lagi, yakni Nabil M Basyuni (NMB) yang ditetapkan tersangka sebagai Dirut PT Prima Pangan Madani dan Lalam Sarlam (LS) Dirut di PT Kemilau Bintang Timur.
Ebenezer menerangkan, terhadap tersangka baru RU dan SJ, keduanya ditahan selama 20 hari. Tersangka RU ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba cabang Kejakgung. Sedangkan tersangka SJ ditahan di Rutan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel).
“Penahanan dilakukan untuk mempercepat, dan untuk kepentingan dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh tim penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus,” terang Ebenezer.
Ebenezer menerangkan, peran dari tersangka SJ. Ia adalah mantan Dirut Perum Perindo yang menyetujui penerbitan surat utang jangka menerangan atau medium term note (MTN) senilai total Rp 200 miliar.
MTN tersebut, terbagi dalam dua surat utang. MTN Jumbo A dan MTN Jumbo B. MTN tersebut diterbitkan untuk mendapatkan dana dengan cara mendapatkan prospek. Akan tetapi penggunaan dana MTN Seri A dan Seri B tersebut tidak digunakan untuk peruntukan.
Peran tersangka RU adalah salah satu pihak swasta yang mengadakan kerjasama perdagangan ikan dengan menggunakan transaksi-transaksi fiktif di Perum Perindo. “Yaitu dilakukan tanpa adanya perjanjian kerjasama serta tidak diadakan berita acara serah terima barang,” ujar Ebenezer.
Kerjasama tersebut tidak dilaporkan tentang adanya jual beli ikan yang dilakukan sebagai suplier mitra bisnis untuk Perum Perindo. Jampidsus menjerat tersangka dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Direktur Penyidikan Jampidsus Supardi pernah mengungkapkan, kerugian negara dalam kasus korupsi di Perum Perindo, mencapai Rp 181,2 miliar. Kerugian tersebut, kata dia, dari hasil penghitungan penyidikan kasus dugaan korupsi, dalam jual beli, dan tangkap ikan yang merugikan negara dengan pihak-pihak swasta. Supari meyakini kasus tersebut, melibatkan pihak-pihak lain di internal BUMN perikanan itu, dan juga swasta yang akan menambah jumlah tersangka.
“Perhitungan sementara itu, (kerugian negaranya) Rp 181,2 miliar. Kasus ini masih terus berkembang, karena sudah dalam penyidikan,” ujar Supardi, di gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejakgung, Jakarta, Jumat (22/10). Supardi menerangkan, kerugian negara Rp 181,2 miliar tersebut terkait dengan jual beli ikan tangkapan.
Kata dia, Perum Perindo menyalurkan modal pada 2017, senilai Rp 200 miliar kepada pihak-pihak swasta. Modal tersebut, untuk ikan tangkap jenis tertentu. Tetapi, dalam penyaluran modal tersebut, dikatakan Supardi, ada sejumlah pihak swasta yang tak sesuai. Bahkan, kata Supardi, ada penerima bantuan modal tersebut, yang tak memiliki izin usaha.
“Itu bukan kredit macet. Tapi korupsi, yang modusnya, adalah kerja sama jual beli ikan. Kadang ikannya, ada, kadang ikannya nggak ada,” ujar Supardi. Kata Supardi mengungkapkan, ada juga sejumlah penerima modal ikan tangkap, namun tak memiliki surat perjanjian. “Jadi prosesnya itu, ada yang fiktif,” terang Supardi.