Kamis 28 Oct 2021 13:16 WIB

Iran Siap Lanjutkan Pembicaraan Pemulihan Kesepakatan Nuklir

Iran dilaporkan melakukan pengayaan uranium hingga 60 persen di situs Natanz.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Dalam foto file ini dirilis 16 Januari 2021, oleh Pengawal Revolusi Iran, sebuah rudal diluncurkan dalam sebuah latihan di Iran. Upaya awal pemerintahan Biden untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 mendapat tanggapan awal yang dingin dari Teheran. Meskipun hanya sedikit yang mengharapkan terobosan di bulan pertama pemerintahan baru, garis keras Iran menunjukkan jalan yang sulit di depan.
Foto: AP/Iranian Revolutionary Guard/Sepa
Dalam foto file ini dirilis 16 Januari 2021, oleh Pengawal Revolusi Iran, sebuah rudal diluncurkan dalam sebuah latihan di Iran. Upaya awal pemerintahan Biden untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 mendapat tanggapan awal yang dingin dari Teheran. Meskipun hanya sedikit yang mengharapkan terobosan di bulan pertama pemerintahan baru, garis keras Iran menunjukkan jalan yang sulit di depan.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemerintah Iran setuju melanjutkan pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir 2015 dengan Amerika Serikat (AS) di Wina, Austria. Proses itu terhenti saat Iran hendak menggelar pemilihan presiden pada Juni lalu.

“Kami sepakat untuk memulai negosiasi sebelum akhir November. Tanggal pastinya akan diumumkan pekan depan,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Iran Ali Bagheri pada Rabu (27/10), dilaporkan kantor berita Iran, Islamic Republic News Agency (IRNA).

Baca Juga

Baru-baru ini, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan, Iran telah melakukan pengayaan uranium hingga 60 persen di situs Natanz. Ambang batas yang seharusnya dipatuhi Iran adalah 20 persen. Bertolak dari hal tersebut, IAEA berkeinginan meningkatkan frekuensi dan intensitas kegiatan pengamanannya di Pilot Fuel Enrichment Plant (PFEP) yang berlokasi di Natanz.

Sebelumnya Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken telah memperingatkan bahwa tenggat waktu bagi Iran untuk kembali ke pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir 2015 hampir habis. Dia menegaskan, Washington memiliki “Rencana B” jika jalur diplomasi dengan Teheran gagal.

Kesepakatan nuklir 2015 atau dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) disepakati pada 2015 antara Iran dan negara kekuatan dunia, yakni AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, serta China. Kesepakatan itu mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing, termasuk embargo terhadap Teheran, dicabut.

Namun JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement