REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemerintah Iran setuju melanjutkan pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir 2015 dengan Amerika Serikat (AS) di Wina, Austria. Proses itu terhenti saat Iran hendak menggelar pemilihan presiden pada Juni lalu.
“Kami sepakat untuk memulai negosiasi sebelum akhir November. Tanggal pastinya akan diumumkan pekan depan,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Iran Ali Bagheri pada Rabu (27/10), dilaporkan kantor berita Iran, Islamic Republic News Agency (IRNA).
Baru-baru ini, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan, Iran telah melakukan pengayaan uranium hingga 60 persen di situs Natanz. Ambang batas yang seharusnya dipatuhi Iran adalah 20 persen. Bertolak dari hal tersebut, IAEA berkeinginan meningkatkan frekuensi dan intensitas kegiatan pengamanannya di Pilot Fuel Enrichment Plant (PFEP) yang berlokasi di Natanz.
Sebelumnya Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken telah memperingatkan bahwa tenggat waktu bagi Iran untuk kembali ke pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir 2015 hampir habis. Dia menegaskan, Washington memiliki “Rencana B” jika jalur diplomasi dengan Teheran gagal.
Kesepakatan nuklir 2015 atau dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) disepakati pada 2015 antara Iran dan negara kekuatan dunia, yakni AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, serta China. Kesepakatan itu mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing, termasuk embargo terhadap Teheran, dicabut.
Namun JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.