REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa, Jurnalis Republika.
Pada saat memasuki abad ke-20, perjuangan Indonesia mengawali babak baru. Maraknya perlawanan bersenjata mulai tergantikan kemunculan pergerakan-pergerakan. Dalam rangka menyusun kekuatan sosial dan politik, lahirlah beberapa organisasi yang dibentuk kalangan pribumi. Sebagai contoh, Sarekat Dagang Islam (16 Oktober 1905), Budi Utomo (20 Mei 1908), Indische Vereeniging (22 Desember 1908), Muhammadiyah (18 November 1912), Nahdlatul Ulama (31 Januari 1926), serta Partai Nasional Indonesia (4 Juli 1927).
Perubahan corak perjuangan itu turut dipicu pihak penjajah sendiri. Belanda mulai memberlakukan Politik Etis sejak Alexander WF Idenburg menjadi menteri koloni pada 1902. Politik Etis didasari suatu pemikiran, Belanda memiliki utang tanggung jawab moral (ereschuld) terhadap bangsa jajahannya. Sebab, berbagai kemakmuran yang dinikmati Negeri Tanah Rendah berasal dari pemerasan hasil bumi dan tenaga rakyat Hindia Belanda atau Indonesia.
Politik Etis sesungguhnya adalah sebuah proyek kolonial. Cikal bakalnya dapat ditelusuri sejak Christiaan Snouck Hurgronje menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda pada 1889. Profesor Universitas Leiden yang fasih berbahasa Arab dan Melayu itu menghendaki koeksistensi antara Belanda dan Hindia di masa depan. Untuk itu, pemilik nama alias Haji Abdul Ghaffar itu berharap, pribumi—utamanya Muslimin—Hindia Belanda mampu beradaptasi dengan ide-ide baru dari tradisi liberalisme Eropa Barat abad ke-19.
Caranya tentu melalui pendidikan. Jumlah rakyat Hindia Belanda yang menempuh sekolah-sekolah Barat pun meningkat. Jajat Burhanudin dalam Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017) menjelaskan, kaum pribumi terdidik itu melonjak dari hanya 269.940 orang pada 1900 menjadi 1,7 juta pada 1930-an. Jumlahnya sangat kecil, tak lebih dari tiga persen, bila dibandingkan dengan keseluruhan penduduk. Hal itu pun menandakan Belanda memang sedari awal tak berkomitmen untuk memeratakan pendidikan di negeri jajahan.
Namun, golongan yang sedikit secara kuantitas itu kemudian menjadi sangat berpengaruh. Mereka tampil sebagai bangsawan-baru bukan karena darah atau keturunan, melainkan pemikiran dan tindakan. Mereka-lah minoritas kreatif yang akhirnya menentukan alur sejarah Indonesia.
Nyaris seluruh penggerak organisasi-organisasi nasionalis pada awal abad ke-20 merupakan anak-anak muda. Indische Vereeniging, misalnya, didirikan para mahasiswa Indonesia di Belanda. Awalnya hanya bersifat sosial, tetapi sejak akhir Perang Dunia I organisasi tersebut meneguhkan sikap politik antikolonialisme. Namanya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia.
Pemimpinnya adalah seorang pemuda 24 tahun, Mohammad Hatta, yang saat itu menempuh studi ekonomi di Rotterdam. Sukarno juga masih berusia belia, 26 tahun, tatkala mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) bersama dengan kawan-kawannya dari Algemeene Studie-club Bandung.
Baca juga : Jangan Lakukan Hal Ini Saat Pagi, Menghalangi Rezeki