REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Bidang Hukum dan HAM, Ikhsan Abdullah, menyampaikan, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudistek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebenarnya tidak diperlukan lagi. Sebab sudah ada Undang-undang (UU) yang mengatur hal itu dan tinggal ditegakan saja aturannya.
Ikhsan mengatakan, tujuan dari Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 sebenarnya bagus untuk melakukan pencegahan terhadap kejahatan seksual di kampus. Karena sekarang marak kekerasan seksual dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi. Tapi yang terjadi sebaliknya, mereka melakukan kekerasan seksual kepada orang yang harusnya dilindunginya.
"Tapi (Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021) ini ada kekurangan, kekurangannya ini yang harus dilengkapi, artinya (aturan ini) melegalkan atau melegitimasi atau membolehkan seksual atau hubungan seks manakala terjadi kesepakatan atau tidak terjadi adanya kekerasan," kata Ikhsan kepada Republika.co.id, Jumat (5/11).
Menurutnya, Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 berpotensi melahirkan fenomena baru, yaitu terciptanya modus baru dan terlindunginya mereka yang melakukan seks bebas atau seks atas nama suka sama suka. Seks suka sama suka ini bisa jadi antara lawan jenis atau sejenis.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) ini mengatakan, mengenai kekerasan seksual sebenarnya telah diatur oleh UU Perlindungan Anak, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan UU Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Maka Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 ini tidak dibutuhkan lagi, karena akan berlawanan semangatnya atau tujuannya dengan UU Perlindungan Anak, UU KDRT dan UU KUHP. UU KUHP ini sedang dirumuskan
"Jadi (Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021) tidak diperlukan, lebih baik kembali saja aturannya kepada UU yang sudah ada. Tidak diperlukan, apakah dicabut atau dibatalkan itu urusan Pak Menteri," ujarnya.
Ikhsan menegaskan, sesungguhnya sudah diatur oleh UU yang berkaitan dengan kekerasan seksual secara substansial pada UU KDRT, UU KUHP, UU Perlindungan Anak. Jadi tinggal ditegakan saja UU ini dan diberlakukan dengan baik oleh para penegak hukum, baik di kampus atau di manapun.
Dia menerangkan, UU untuk mengatur masyarakat termasuk warga kampus, aturan itu sudah ada jadi mubazir kalau ada lagi Permendikbudistek tersebut. Mungkin pada saat disusun Permendikbudistek ini belum sinkron dengan UU yang sudah ada yang secara substansial telah mengatur ketentuan tersebut.
Untuk diketahui, Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, pada Pasal 5. Dijelaskan, (1) Kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/ atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. (2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi poin (A) sampai (U). Pasal 5 Poin (B) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban. Pasal 5 Poin (F) mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. Pasal 5 Poin (H) menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. Pasal 5 Poin (J) membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban.
Pasal 5 Poin (L) menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban. Pasal 5 Poin (M) membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.
Sebelumnya Majelis Ormas Islam (MOI) yang beranggotakan 13 ormas Islam Indonesia menyatakan penolakan terhadap keluarnya Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021. Ketua Presidium MOI, KH Nazar Haris, mengatakan, poin yang dikritisi dan ditolak oleh MOI antara lain terkait paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent) yang memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual bukan nilai agama, tapi persetujuan dari para pihak. Artinya selama tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa, dan ada persetujuan, maka aktivitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.