REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harapan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo, untuk mendapatkan keringan hukum pupus. Sebab, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru memperberat hukuman politikus Gerindra itu dari sebelumnya divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjadi sembilan tahun. Pantaskan Edhy Prabowo dihukum lebih berat?
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengapresiasi putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menaikkan hukuman penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo. Namun, bagi ICW, hukuman itu belum cukup memberikan efek jera terhadap Edhy.
"Mestinya pada tingkat banding, hukuman Edhy diubah menjadi 20 tahun penjara, dendanya dinaikkan menjadi Rp 1 miliar, dan hak politiknya dicabut selama 5 tahun," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/11).
Kurnia menyebut, ada sejumlah alasan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memenjerakan Edhy selama 20 tahun. Pertama, jelas dia, Edhy melakukan kejahatan korupsi saat menduduki posisi sebagai pejabat publik.
Kedua, praktik korupsi suap ekspor benih lobster terjadi saat Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19. Ketiga, hingga proses banding, Edhy tidak kunjung mengakui perbuatannya.
Kurnia menilai, putusan banding ini, selain mengonfirmasi kekeliruan putusan tingkat pertama, juga menggambarkan betapa rendahnya tuntutan yang dilayangkan jaksa KPK terhadap Edhy Prabowo. "Bagaimana tidak, pasal yang digunakan oleh KPK sebenarnya memungkinkan untuk menjerat Edhy hingga hukuman maksimal, namun pada faktanya hanya lima tahun penjara," ujarnya.
Kurnia menambahkan, kedepan, jika Edhy Prabowo mengajukan kasasi, penting bagi Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi proses persidangan tersebut. "Jangan sampai putusan kasasi nanti meringankan kembali hukuman Edhy Prabowo dengan alasan yang mengada-ngada," ucapnya.