Sabtu 13 Nov 2021 10:15 WIB

Strategi Kementan Mitigasi Dampak La Nina

Perubahan iklim dan la lina diprediksi mengganggu sektor pertanian.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Dwi Murdaningsih
Petani memanen padi di areal persawahan yang terendam banjir di kawasan Gedebage, Kota Bandung, Kamis (11/11). Sejumlah petani di daerah tersebut terpaksa memanen padi lebih awal karena khawatir jika terlalu lama terendam air akan semakin merusak kualitas padi. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Petani memanen padi di areal persawahan yang terendam banjir di kawasan Gedebage, Kota Bandung, Kamis (11/11). Sejumlah petani di daerah tersebut terpaksa memanen padi lebih awal karena khawatir jika terlalu lama terendam air akan semakin merusak kualitas padi. Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inovasi teknologi tepat guna diperlukan untuk lebih dapat siap menghadapi dampak badai La Nina. Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo menekankan pentingnya kesiapan sektor pertanian ditengah kuatnya perubahan iklim global. 

Banyak negara yang yang saat ini tengah mengalami kesulitan dalam hal produksi pangan.

Baca Juga

“Namun, Indonesia termasuk 11 negara yang mampu bertahan menghadapi Covid-19, saya tidak pernah mendengar ada masalah ketahanan pangan, bahkan kita mampu ekspor, nilai ekspor pada tahun 2020 naik 15,79 persen dan tahun 2021 naik 47,96 persen, sehingga hasil ekspor kita hampir 500 triliun," katanya, Jumat (12/11).

Menurut Syahrul, antisipasi dini terhadap iklim ektrim telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian melalui berbagai upaya. Langkah antisipasi dini yang dilakukan oleh Kementan untuk memitigasi dampak perubahan iklim khususnya terhadap La Nina, salah satunya adalah membuat srategi brigade La Nina.

“Saat ini kita harus merasa was-was dan khawatir dengan planet bumi yang sedang mengalami kerusakan dan tanda-tanda kerusakan itu sudah ada di depan mata.  Untuk itu pertanian tidak boleh salah hitung karena menyangkut ketahanan pangan bagi 273 juta rakyat Indonesia," ujar Mentan SYL.

Ia mengungkapkan bahwa pentingnya membangun sistem online early warning system dan melakukan koordinasi dengan BMKG untuk memetakan wilayah langganan yang berpotensi mengalami dampak iklim ekstrim (banjir dan kekeringan) serta hama penyakit.

"Agar produktivitas tidak bermasalah, kita perlu menampung air ketika sedang mengalami curah hujan tinggi seperti yang sedangf terjadi saat ini. Jangan biarkan air hujan terbuang percuma sampai di laut. Untuk itu kita harus memperbanyak embung disetiap daerah untuk menampung air hujan guna menghadapi kemarau panjang sesudah ini," ujarnya.

Langkah selanjutnya, menciptakan varietas yang toleran terhadap perubahan cuaca ekstrim sehingga dapat menggunakan benih unggul yang tahan kekringan saat kemarau dan tahan genangan saat musim hujan.

Peneliti Balai Penelitiaan Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat), Aris Pramudia mengungkpakan bahwa setiap daerah akan mengalami dampak yang sama akibat anomali La-Nina.

Diperkirakan setiap daerah mengalami dampak yang berbeda, mulai dari dampak ekstrim, ringan, bahkan ada yang tidak terdampak. Sehingga setiap pemangku kepentingan perlu memahami pola La-Nina di daerahnya masing-masing

“Untuk itu kita perlu melakukan komunikasi dan mengikuti perkembangan perubahan dan keragaman iklim selama Musim Hujan 2021/2022 dan siap melakukan antisipasi setiap saat, melalui sumber informasi yang berwenang atau relevan, selain itu memilih inovasi dan teknologi juga dapat mengantisipasi atau mengurangi dampak negatif anomali La-Nina terhadap pertanian, “ ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement