REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR - Pengungsi Rohingya, yang telah bertahun-tahun tinggal di kamp-kamp yang penuh sesak di distrik Cox's Bazar Bangladesh, memandang pendidikan tinggi sebagai jalan menuju kehidupan yang bermartabat.
“Sebagai anggota dunia yang beradab, adalah hak dasar kemanusiaan kita untuk melanjutkan pendidikan tinggi demi eksistensi kita sebagai bangsa di masa depan,” kata Mohammad Hamidullah, remaja Rohingya yang masih sekolah tingkat SMP kepada Anadolu Agency.
Menurut laporan dari organisasi internasional termasuk Amnesty International, lebih dari 750.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri dari penumpasan brutal militer di Rakhine sejak 25 Agustus 2017 dan menyeberang ke Bangladesh, menjadikan jumlah total mereka di negara Asia Selatan menjadi lebih dari 1,2 juta.
Hamidullah termasuk di antara mereka yang bermigrasi ke Bangladesh dalam perjalanan berbahaya selama seminggu bersama keluarganya, termasuk ibu dan dua saudara perempuannya. Hingga kini dia masih ragu dengan keberadaan ayahnya.
"Anggota Tatmadaw (tentara Myanmar) menahan ayah saya di bawah todongan senjata pada 2012 dan tidak ada jejaknya sejak itu. Meski ada bencana besar dalam keluarga kami, saya entah bagaimana berhasil melanjutkan pendidikan saya hingga kelas 10 sebelum migrasi kami ke Bangladesh pada 2017," tutur dia.
"Setelah berlindung di sebuah kamp pengungsi di Bangladesh, saya tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan saya," tambah dia, menambahkan bahwa jika semuanya berjalan lancar, dia akan menjadi mahasiswa sekarang.
Dia mengaku mengenal setidaknya 100 pemuda Rohingya yang sedang menempuh pendidikan di tingkat SMP selama penggusuran pada Agustus 2017.
“Mohon temukan mekanismenya agar kita bisa melanjutkan pendidikan kita untuk kepemimpinan masa depan dan kelangsungan hidup bangsa kita yang bermartabat,” ungkap Hamidullah warga kamp Rohingya seraya mendesak masyarakat dunia agar memberikan dukungan.
Menggemakan sentimennya, pemuda Rohingya lainnya, Ziaur Rahman, yang mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak dari orang-orang yang dipindahkan secara paksa di pusat pembelajaran berbasis kamp, mengatakan komunitas internasional harus mengatur kuota di berbagai lembaga pendidikan untuk warga Rohingya di seluruh dunia.
"Kita tumbuh tanpa pendidikan. Hanya sebagian kecil generasi baru kita yang hanya mengenyam pendidikan tingkat dasar di pusat-pusat pembelajaran berbasis kamp. Tidak ada bangsa yang bisa bertahan lama tanpa pendidikan tinggi," tambah dia.
Rahman juga menceritakan situasi saat ini di Myanmar. "Kami dilarang mengenyam pendidikan tinggi dengan berbagai dalih di Myanmar, dan sekarang di Bangladesh, kami tidak memiliki ruang untuk mendapatkan pendidikan tinggi dengan identitas kami sebagai orang tanpa kewarganegaraan tanpa status pengungsi," tutur dia.
"Apa masa depan kita? Bagaimana generasi kita selanjutnya akan bertahan?" seru dia.