Jumat 26 Nov 2021 01:51 WIB

Isu Adzan dan Dinamika Komunitas Muslim di Jerman

Selama 40 hingga 50 tahun terakhir, jamaah masjid di Jerman didominasi oleh Turki.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Agung Sasongko
Muslim Jerman
Foto:

- Anda menggambarkan jalan Anda sebagai jalan tengah, dalam bahasa Arab 'wasathiyah'?

Tidak mudah. Kami mengalami perkembangan yang dinamis melalui jaringan sosial, digitalisasi, globalisasi yang sedang berlangsung, dan gelombang migrasi yang kuat. Semua ini memberi kita tantangan, kita perlu memegang jalan tengah. Kita perlu fokus pada nilai-nilai yang menyatukan kita dan membangun dunia ini bersama-sama, tanpa menjadi ekstrem dan menyegel diri di dunia paralel. Tujuan kami adalah untuk fokus pada nilai-nilai universal, bersama dan bekerja untuk kepentingan bersama semua orang di dunia ini.

 Beginilah saya memahami 'wasat': komunitas yang moderat, yang menjembatani perbedaan dan tidak berkontribusi pada perpecahan dan masyarakat paralel.

- Bagaimana hal itu diterima dalam komunitas Muslim pada umumnya? Apakah Anda berhubungan dengan imam dan jamaah lain?

 Tentu saja, saya merasakan ketertarikan di antara para imam lain dan jamaahnya. Saya selalu mendapatkan pertanyaan dari institusi Muslim di seluruh Jerman. Awalnya, mayoritas dari gereja-gereja Jerman dan organisasi non-Muslim, tetapi sejak buku terbaru saya, The Quran and Women, dua tahun lalu, ada banyak minat dari Muslim. Meskipun pandemi, saya telah menghabiskan banyak bacaan, termasuk dari buku baru saya. Selama bulan November saja, saya akan melakukan tur ke beberapa kota dan jamaah masjid di seluruh Jerman.

- Apakah ada yang berubah dari komunitas Muslim?

Ada Muslim pendatang baru yang belum tentu terorganisir menurut jamaah. Saya melihat generasi yang mengidentifikasikan diri dengan Islam, tetapi pada saat yang sama mencari bentuk organisasi baru. Mereka mendirikan asosiasi dan inisiatif baru yang sangat berbeda dengan jamaah masjid pada umumnya.

Generasi baru Muslim ini membuat saya terpesona.  Mereka membantu memastikan bahwa Islam ditemukan tidak hanya di dalam kongregasi, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat, di universitas, di jejaring sosial, di media, di platform dan melalui saluran yang sangat berbeda. 

Kaum Muslimin ini terbuka untuk pertanyaan baru dan orang baru, untuk topik dan tantangan baru, seperti isu lingkungan, persamaan hak bagi perempuan, partisipasi sosial-politik, dialog antaragama dan, di atas semua itu, wacana baru tentang Islam dalam konteks zaman. Ini adalah tali yang harus dilalui komunitas Muslim di Jerman dan di Eropa. 

- Salah satu isu utama adalah bagaimana mencegah kaum muda menjadi radikal?

 Radikalisasi dimulai dengan pikiran dan kata-kata, yang pada akhirnya bisa berakhir dengan perbuatan.  Oleh karena itu, belas kasih dan cinta sangat penting, di samping dua elemen lain yang sangat saya hargai, yaitu alasan dan pengalaman positif. Keduanya, belum lagi nilai-nilai seperti belas kasih dan kasih sayang, merupakan elemen sentral dalam Islam. Alquran menekankan itu berkali-kali. Merekalah yang seharusnya menginformasikan pemahaman kita tentang Islam.

Radikalisasi tidak terjadi di jamaah, melainkan di media sosial. Sebagai imam, kita harus lebih aktif lagi menjangkau kaum muda. Saya sangat senang ketika saya melihat pemuda Muslim menyebarkan citra Islam yang penuh cinta dan hormat di media sosial.  Orang-orang muda nongkrong di Internet, bukan di masjid. Citra Islam sebagai agama akal dan kasih sayang perlu diperkuat di media sosial.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement