Jumat 03 Dec 2021 19:32 WIB

M16 Sebut China Jerat Utang Negara Miskin, Beijing Membantah

China menegaskan tidak memaksakan kehendaknya sendiri pada negara lain.

Rep: Fergi Nadira/Novita Intan/ Red: Teguh Firmansyah
Bendera China (ilustrasi).
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Bendera China (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kedutaan Besar China di London menuduh Kepala Dinas Intelijen Rahasia Inggris/Secret Intelligence Service (SIS) atau M16, Richard Moore menyebarkan berita palsu. Sebelumnya Moore secara terang-terangan mengatakan bahwa China menargetkan negara-negara miskin dengan jebakan utang dan pencurian data.

Dalam sebuah pernyataan Selasa (30/11) lalu, Kedutaan Besar China di Inggris menolak tuduhan Moore terhadap Beijing yang mengatakan bahwa China secara aktif berusaha menjerat negara-negara miskin dalam jebakan utang. China juga dengan tegas menolak tuduhan pencurian data strategis yang berharga dari negara-negara miskin tersebut.

Baca Juga

Kedutaan mengeklaim bahwa Richard Moore bersalah karena menyebarkan berita dan informasi intelijen palsu tentang China. "Sebenarnya tidak ada satu negara pun yang jatuh ke dalam apa yang disebut 'jebakan utang' sebagai akibat dari pinjaman dari China," tulis Kedutaan China di London seperti dikutip laman Russia Today, Jumat (3/12).

Pihak Kedutaan mengatakan, bahwa China tidak berusaha untuk ikut campur dalam urusan internal negara lain. China juga tidak memaksakan kehendaknya sendiri pada negara atau orang lain apalagi mencari keuntungan politik apa pun.

Kedutaan mendesak Inggris untuk memperbaiki kesalahannya dan menghentikan serangan tidak berdasar terhadap China. Dalam pidato publik pertamanya pada Selasa, bos intelijen Inggris yang dikenal sebagai "C" menuduh badan intelijen China melakukan operasi spionase skala besar terhadap Inggris. Dia pun mendesak negara-negara lain untuk waspada terhadap ancaman China.

Moore mengingatkan bahwa penerimaan solusi teknologi Cina membuat negara-negara dapat memberi Beijing pintu belakang untuk mencuri data. Dia mengeklaim bahwa Beijing memanen data dari seluruh dunia dan seiring waktu, akses China ke informasi negara lain akan mengikis kedaulatan mereka.

Moore mengatakan kepada program 'Today's' BBC Radio 4 bahwa China juga menggunakan kebijakan ekonomi untuk meningkatkan pengaruh. Dia mengeklaim bahwa Beijing menggunakan pinjaman dan utang untuk memperoleh pelabuhan signifikan yang berpotensi menjadi fasilitas angkatan laut.

Semisal, ujar dia, pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, yang menyerahkannya ke China setelah mengatakan tidak mampu membayar utang pinjaman yang diambil dengan Beijing untuk membangunnya.

Moore juga merujuk bahwa banyak negara miskin telah jatuh ke dalam utang yang cukup besar dengan Cina. Media Uganda mengeklaim Cina telah membangun jalan termahal di dunia di negara mereka yang menghubungkan kota Entebbe dengan Kampala.

Jalan yang dibiayai oleh pinjaman China, dilaporkan menelan biaya 9,2 juta dolar AS per kilometer. Sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh perusahaan dan tenaga kerja Cina. Ini mencerminkan kebijakan 'Go Out' Beijing yang sudah berusia dua dekade.

Uni Eropa saingi China

Sementara itu, Uni Eropa telah menyiapkan anggaran sebesar 40 miliar euro atau 45,9 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 657,8 triliun (kurs Rp 14.300 per dolar AS) untuk membangun infrastruktur teknologi.

Adapun rencana ini untuk meningkatkan kepentingan dan daya saing Eropa di seluruh dunia dan mempromosikan standar dan nilai lingkungan yang berkelanjutan seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement