REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) menilai pemberantasan korupsi di Indonesia era kepemimpinan Firli Bahuri di KPK masih suram. Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman mengatakan, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tahun ini, tak sebagus capaian yang disampaikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, Kamis (9/12).
"Upaya pemberantasan korupsi semakin suram dan mundur, apalagi selama setahun kebelakang ini. Bisa dilihat misalnya dari rendahnya indeks persepsi korupsi, tidak hanya rendah tetapi juga indeks persepsi korupsi turun dua poin dari 2019 yaitu di angka 40 kemudian turun menjadi 38 di 2020," ujar Zaenur Rohman kepada wartawan, Kamis (9/12).
Menurut dia, angka indeks persepsi korupsi itu bisa menjadi gambaran Indonesia bukan menjadi semakin bersih, tetapi semakin bermasalah dengan korupsi. Kedua, ia melihat selama setahun terakhir tidak ada komitmen kuat dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Ketiadaan komitmen itu misalnya dilihat dari tidak adanya dukungan legislasi dari pemerintah yang diajukan kepada DPR. Misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset hasil kejahatan tidak ada kemajuan, padahal RUU itu dapat menjadi pengubah permainan dalam pemberantasan korupsi.
"Karena RUU itu dapat menjadi instrumen untuk merampas harta kekayaan penyelenggara negara yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya, dengan menggunakan metode pembuktian terbalik," ujarnya.
Kemudian, Zaenur juga tak melihat adanya komitmen pemberantasan korupsi dari Presiden. Misalnya dalam konteks Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Alih-alih presiden mendukung independensi KPK, justru Presiden tidak berbuat apa-apa ketika TWK itu dilakukan, untuk menyingkirkan pegawai-pegawai KPK yang berintegritas tinggi.
Sedangkan dalam proses tes TWK-nya, ditemukan penuh dengan malaadministrasi, sesuai dengan rekomendasi Ombudsman. Dan banyak pelanggaran HAM sesuai dengan temuan Komnas HAM. Sedangkan Presiden Joko Widodo sebagai kepala tertinggi pemerintahan, hanya diam dalam hal ini.
"Itu juga menunjukkan lemahnya dukungan Presiden dan pemerintah secara umum terhadap pemberantasan korupsi," tegasnya.
Dari sisi penindakan, PUKAT UGM melihat juga sangat buruknya kinerjanya, apalagi penindakan yang dilakukan KPK. Tidak ada satupun kasus korupsi strategis yang diungkap dan diselesaikan di setahun terakhir ini. Bahkan KPK mengeluarkan SP3 untuk kasus korupsi BLBI, KPK tidak ada satupun kasus strategis yang merugikan keuangan negara besar atau pelaku dengan jabatan yang sangat tinggi atau yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
"Tapi saya harus fair, KPK memang sangat buruk prestasi penindakannya di setahun terakhir. Tetapi koleganya, Kejaksaan itu justru menunjukkan prestasi yang lebih baik," sebutnya.
Sebab, Kejaksaan memproses kasus korupsi Jiwasraya dan ASABRI yang nilainya puluhan triliun rupiah. "Jadi saya tetap memberikan kredit poin kepada Kejaksaan, karena telah memproses dua kasus tersebut," ujar Zaenur.
Dalam area penindakan, menurut dia, yang sayangnya penindakan oleh KPK maupun oleh aparat penegak hukum lain itu tidak memiliki satu prioritas yang jelas. Misalnya prioritas untuk menjadikan aparat penegak hukum sebagai prioritas utama. Bahkan alih-alih menjadi prioritas, ketika ada kasus korupsi yang dilakukan para penegak hukum justru penanganannya tidak tuntas.
"Itu memunjukkan instituai penegak hukum tidak lepas dari korupsi. Bahkan ada mantan penyidik KPK yang menerima suap sampai nilainya miliar rupiah. Bahkan ada kasus Jaksa Pinangki, ada Jenderal Napoleon," paparnya.
Jadi ketiga kasus perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum ini, memperlihatkan justru aparat semakin terlibat perilaku korupsi. Itujuga menunjukkan satu tahun terakhir ini pemberantasan korupsi semakin suram dan justru institusi pemberantas korupsi jadi bagian terlibat korupsi. Apalagi ada pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan KPK.