REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bustami Zainuddin dan Fachrul Razi mengajukan judicial review Presidential Threshold atau ambang batas elektoral pencalonan presiden dalam UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi, Jumat (10/12). Keduanya yang didampingi pengacara Refly Harun ingin ambang batas jadi nol persen.
"UU Pemilu ini penting karena turunannya menjadi rujukan pada UU Plkada, karena kalau 20 persen ini bisa kita nol-kan, mau tidak mau untuk memilih pimpinan daerah seperti gubernur, wali kota kita berharap akan menjadi rujukan yang sama nol persen ini," ujar Bustami yang merupakan senator asal Lampung di video berbagi Refly Harun seperti dikonfirmasi Republika.co.id, Jumat.
Bustami berharap jika gugatan dikabulkan, maka ini akan menjadi pintu bagi anak bangsa terutama para pemimpin di daerah yang memiliki potensi untuk berkiprah di tingkat nasional. Karena mereka juga punya kesempatan sama. "Tepat 10 Desember 73 tahun lalu diputuskan hari hak asasi manusia, hari ini kita ajukan gugatan di Jumat berkah," ujarnya.
Selain itu yang tak kalah penting, lanjut Bustami, penghilangan batas syarat elektoral akan mengurangi praktik politik biaya tinggi. Karena, sudah bukan rahasia umum praktik biaya besar itu bisa menjadi sumber korupsi. "Asal muasal korupsi karena pemilihan umum tinggi, korupsi seperti di level eksekutif karena ongkos politik yang cukup besar di tingkat daerah," ujarnya.
Presidential Threshold diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam pasal disebutkan bawah pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dalam lembaran surat gugatan yang dilihat Republika.co.id, ihwal kedudukan hukum pelapor, disebutkan bahwa ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945) karena mengabaikan/membatasi hak konstitusional (constitutional right) Para Pemohon untuk mendapatkan pilihan sebanyak-banyaknya calon presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (right to be a candidate).
Kemudian dalam pengajuan permohonan a quo, para pemohon berkedudukan dalam
2 (dua) kapasitas atau kualifikasi. Pertama, sebagai perorangan warga negara Indonesia (pemilih) dan kedua sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
Sementara Fachrul Razi mengungkapkan bahwa ia dan Bustami tidak sendiri dalam mengajukan gugatan ini. Banyak pihak lain yang juga merasa memiliki kepentingan sama. "Kami minta dukungan kepada seluruh bangsa Indonesia untuk mendoakan perjuangan ini agar demokrasi di Indonesia bisa ditegakkan," ujarnya.
Sebelumnya politikus Partai Gerindra Ferry Juliantono juga menggugat Presidential Treshold ini ke MK.