REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Kabinet Jepang menyetujui rekor anggaran pertahanan sebesar 5,4 triliun yen atau setara dengan 47 miliar dolar AS untuk fiskal 2022 pada Jumat (24/12). Anggaran ini mencakup pendanaan untuk penelitian dan pengembangan jet tempur baru dan senjata lainnya buat meningkatkan kemampuan pertahanannya.
Peningkatan anggaran 1,1 persen untuk tahun yang dimulai pada April ini adalah peningkatan belanja pertahanan ke-10 berturut-turut. Anggaran ini pun sejalan dengan janji Jepang kepada Amerika Serikat (AS) untuk memperkuat kemampuan pertahanannya sendiri guna mengatasi masalah keamanan yang semakin menantang di kawasan.
Anggaran yang masih perlu disetujui oleh parlemen ini mencakup rekor 291 miliar yen atau 2,55 miliar dolar AS untuk penelitian dan pengembangan pertahanan, naik 38 persen dari tahun 2021. Dari jumlah itu, 100 miliar yen atau 870 juta dolar AS untuk pengembangan jet tempur FX yang menggantikan armada pesawat F-2 Jepang pada 2035. Ini akan menjadi jet tempur pertama yang dikembangkan di dalam negeri Jepang dalam 40 tahun.
Jepang dan Inggris baru-baru ini mengumumkan pengembangan bersama dari mesin jet tempur demonstrasi masa depan dan sepakat untuk mengeksplorasi teknologi dan subsistem udara tempur lebih lanjut. Proyek ini mencakup Mitsubishi dan IHI di Jepang dan Rolls-Royce dan BAE Systems di Inggris.
Seiring penumpukan militer China meluas ke dunia maya dan luar angkasa, Kementerian Pertahanan Jepang juga mendorong penelitian tentang kendaraan otonom yang dioperasikan dengan kecerdasan buatan. Proyek ini untuk penggunaan udara dan bawah laut, penerbangan supersonik, dan teknologi pengubah keadaan lainnya.
Anggaran tersebut mengalokasikan 128 miliar yen atau 1,1 miliar dolar AS untuk pembelian selusin pesawat tempur siluman F-35 dari Lockheed Martin Corp. Ini termasuk empat dengan kemampuan lepas landas pendek dan pendaratan vertikal untuk digunakan pada dua kapal induk yang diubah menjadi kapal induk, kunci bagi Jepang operasi bersama dengan AS dalam pertahanan kawasan Indo-Pasifik.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dengan cepat mengadopsi kebijakan yang lebih hawkish. Dia mengatakan Jepang harus mempertimbangkan untuk memperoleh kemampuan serangan pre-emptive dalam menanggapi penumpukan militer Cina dan kemampuan rudal dan nuklir Korea Utara yang berkembang.