REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) merespons vonis nihil dan pidana tambahan uang pengganti yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus korupsi PT Asabri Heru Hidayat. KY akan mempelajari vonis tersebut, termasuk mempelajari bila ada dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Juru Bicara KY Miko Ginting menyampaikan, lembaganya terbuka bila ada yang melaporkan kepada KY soal vonis Heru. "Area Komisi Yudisial adalah dengan terbuka apabila dipandang ada dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut. Selain itu, Komisi Yudisial akan mempelajari lebih lanjut putusan yang dimaksud beserta hal-hal lain yang muncul dalam pemeriksaan di persidangan," kata Miko di Jakarta, Rabu (19/1).
Majelis hakim beralasan Heru sudah divonis seumur hidup dalam kasus korupsi Jiwasraya sehingga Majelis hakim memutuskan Heru tak bisa dijatuhi hukuman badan lain karena vonis seumur hidup merupakan hukuman maksimal dalam perkara itu. Heru juga dijatuhi pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp12,643 triliun yang sesuai dengan tuntutan Jaksa.
Miko menyampaikan memang ada perdebatan hukum terkait apakah seseorang yang sebelumnya telah dijatuhi pidana seumur hidup harus tetap dicantumkan vonis yang sama (dalam hal ini seumur hidup juga) atau tidak alias nihil. Sebab di satu sisi, KUHAP menyatakan suatu putusan harus memuat pemidanaan jika terdakwa dinyatakan bersalah.
"Di sisi lain, jika dicantumkan akan ada dua pemidanaan seumur hidup dari dua putusan berbeda. Saya kira ini area para pakar dan pengamat hukum pidana untuk memberikan pendapat," ujar Miko.
Terlepas dari vonis ini, Miko mengajak semua pihak untuk menghargai putusan Majelis Hakim. Ia menganjurkan bila ada penolakan terhadap vonis maka dipersilahkan menempuh banding.
"KY menghimbau agar para pihak dan masyarakat menghormati putusan pengadilan yang telah dijatuhkan. Menghormati dalam arti, apabila dirasa tidak puas dengan substansi dari putusan tersebut, maka jalur yang tersedia adalah upaya hukum," ucap Miko.
Miko juga menghargai bila Kejaksaan Agung memilih menempuh proses banding atas vonis Heru sebagai bagian dari upaya mencari keadilan. "Saya kira kejaksaan agung dalam hal ini mewakili publik untuk melakukan atau tidak melakukan upaya hukum. Begitu juga, terdakwa dan penasehat hukumnya, juga dijamin haknya untuk mengajukan upaya hukum. Intinya, jalur untuk mengkontes substansi putusan adalah melalui upaya hukum," tutur Miko.
Sebelumnya, Majelis hakim beralasan vonis nihil karena mempertimbangkan pasal 2 ayat 2 UU pemberantasan Tipikor tak dicantumkan dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Atas dasar itulah, Heru tak bisa dituntut dengan pasal 2 ayat 2 UU tersebut. Putusan Majelis Hakim tak bisa keluar dari surat dakwaan. Sebab surat dakwaan merupakan rujukan dan landasan dalam pembuktian tuntutan.
Jampidsus berencana akan melakukan banding melawan putusan PN Tipikor tersebut, ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta demi keadilan. JPU memang menuntut Heru melakukan perbuatan dalam dua dakwaan, yaitu dakwaan pertama Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.