REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menegaskan bahwa MPR masih tetap sebagai lembaga tinggi negara. Hal itu disampaikan Basarah menjawab pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah yang mempertanyakan eksistensi lembaga MPR.
"Jadi meskipun wewenang untuk memilih, mengangkat dan menetapkan presiden sudah tidak lagi menjadi wewenang MPR, kemudian tidak punya lagi wewenang menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, menurut fungsinya MPR tetaplah merupakan lembaga tertinggi negara," kata Basarah dalam diskusi daring bertajuk 'Menyoal Eksistensi Lembaga MPR: Masih Relevankah Dipertahankan?', Rabu (19/1/2022).
Sebab, Basarah menambahkan, hanya MPR lah yang dapat memberhentikan presiden atau wakil presiden di tengah masa jabatan. Selain itu, hanya MPR lah yang dapat mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
"Saya kira jelas sudah wewenang dan peran MPR dalam sistem dalam ketatanegaraan kita. Kalau wewenang ini dihapuskan atau dijadikan lembaga tak permanen, pertama, tidak ada yang melantik presiden dan wakil presiden hasil pemilihan umum," ujarnya.
Kemudian, Basarah menjelaskan, jika DPR dalam pendapatnya menyatakan bahwa presiden atau wakil presiden telah melanggar UUD, dan MK menyatakan persetujuannya atas permintaan DPR tersebut yang menyatakan bahwa presiden telah melanggar UUD, maka ketika MPR tidak ada dipastikan tidak ada lembaga yang bisa memberhentikan presiden dan wapres di tengah masa jabatan.
"Kalau itu yang terjadi maka yang akan terjadi adalah kebuntuan ketatanegaraaan kita," ucap politikus PDIP tersebut.
Sebelumnya Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah. mempertanyakan soal eksistensi lembaga MPR RI. Ia menilai peran dan fungsi lembaga MPR RI selama ini tidak berjalan dengan baik. "Peran-peran yang selama ini dibebankan kepada DPR dan DPD harusnya ditarik oleh MPR," kata Fahri dalam diskusi daring bertajuk 'Menyoal Eksistensi Lembaga MPR: Masih Relevankah Dipertahankan?', Rabu (19/1).
Mantan wakil ketua DPR itu berpandangan belakangan ini ada kecenderungan lahirnya kembali sistem kepartaian yang menganggap bahwa lembaga negara tidak berjarak dengan kekuasaan parpol. Parpol dianggap sebagai lembaga perwakilan itu sendiri seperti di dalam tradisi otoritarianisme.