REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) segera melakukan rapat dengan DPR RI menyusul perjanjian ekstradisi pemerintah Indonesia-Singapura. Pertemuan dengan DPR guna membahas ratifikasi usai penandatanganan kerjasama tersebut.
"Soal ratifikasi itu nanti akan dibicarakan antara pemerintah dengan DPR, lebih tepatnya Komisi I. Nanti dibahas disana," kata Kepala Bagian Humas Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman di Jakarta, Rabu (26/1).
Dia melanjutkan, ratifikasi tersebut juga akan dilakukan bersama dengan kementerian lainnya yang berkaitan. "Tapi sejauh ini, kami juga belum melakukan komunikasi lebih lanjut dengan DPR," kata Tubagus Erif.
Pemerintah Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi untuk mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara seperti korupsi, narkotika dan terorisme. Ekstradisi itu diharapkan menciptakan efek gentar bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura
Menkumham Yasonna Laoly menjelaskan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa retroaktif (berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya) selama 18 tahun ke belakang. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan maksimal daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Salah satu poin perjanjian, yakni saling bertukar para tersangka buron yang seharusnya menjalani penuntutan atau persidangan di negara masing-masing. Jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian ekstradisi ini berjumlah 31 jenis di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.
Yasonna mengatakan, perjanjian ekstradisi ini juga menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan. Hal itu dilakukan guna mencegah privilese yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana.
Yasonna melanjutkan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri. Sebab, Indonesia telah memiliki perjanjian dengan negara mitra sekawasan di antaranya Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, dan Hong Kong.