REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemohon perkara Nomor 5/PUU-XX/2022 pengujian materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Lieus Sungkharisma menyampaikan terkait sulitnya mengikuti pemilu kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
"Saya punya pengalaman sendiri tahun 1998 atau saat kerusuhan Mei. Saya pernah bikin partai yang mulia," kata Lieus pada sidang lanjutan dengan agenda perbaikan permohonan yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta, Kamis (3/2/2022).
Pada saat itu, Lieus mendirikan Partai Reformasi Tionghoa Indonesia. Bahkan, partai yang didirikannya terdaftar secara legal di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). "Untuk ikut pemilu itu tidak mudah. Di setiap daerah, provinsi, kabupaten harus punya cabang," ujarnya.
Kendati telah mengantongi izin dari pemerintah, yaitu Kemenkumham, sambung dia, faktanya Partai Reformasi Tionghoa Indonesia tidak kuat mengikuti pemilu karena beratnya syarat yang ditentukan penyelenggara. Karena itu, agar lebih adil, melalui uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017, Lieus berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan gugatan.
Menurut dia, ketentuan ambang batas (presidential threshold) 20 persen sangat berat sekali, terutama bagi partai politik yang ingin mengusung calon presiden. "Dengan dua pasang calon maka permusuhan makin tajam, dagang jadi susah," ujar Lius.
Dalam petitumnya, ia meminta majelis hakim MK mengabulkan permohonan pemohon untuk keseluruhannya. Kedua, menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya, memerintahkan pemuatan putusan tersebut dalam berita negara Republik Indonesia, atau jika majelis hakim memiliki pendapat lain dimohon memberikan putusan yang adil.
Majelis hakim MK Arief Hidayat mengatakan, segera melaporkan perbaikan permohonan pemohon ke permusyawaratan hakim terkait tindak lanjutnya ."Pak Lieus tinggal menunggu berita kelanjutan permohonan ini dari kepaniteraan," ujar Arief.