Rabu 09 Feb 2022 11:18 WIB

PM Libya Menentang Pemungutan Suara untuk Menggantikannya

Parlemen Libya berencana lakukan pemungutan suara untuk menggantikan Dbeibah

Perdana Menteri sementara Libya Abdul Hamid Dbeibah, barisan depan ketiga kiri, dan Kepala Staf Libya, Jenderal Mohammed al-Haddad, barisan depan kedua kiri, menghadiri upacara wisuda taruna Libya di Akademi Perang, di Tripoli, Libya, Ahad, Jan .23, 2022.
Foto: AP/Yousef Murad
Perdana Menteri sementara Libya Abdul Hamid Dbeibah, barisan depan ketiga kiri, dan Kepala Staf Libya, Jenderal Mohammed al-Haddad, barisan depan kedua kiri, menghadiri upacara wisuda taruna Libya di Akademi Perang, di Tripoli, Libya, Ahad, Jan .23, 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Perdana Menteri sementara Libya Abdulhamid al-Dbeibah mengatakan akan menentang pemungutan suara yang direncanakan di parlemen untuk menggantikannya pada Kamis (10/2/2022). Rencana parlemen itu meningkatkan peluang munculnya dua pemerintahan yang bersaing dan berjalan secara paralel.

Dbeibah telah berulang kali mengatakan Pemerintah Transisi Persatuan Nasional (GNU) yang dia pimpin tetap sah meskipun terjadi kegagalan dalam proses pemilihan yang direncanakan pada Desember. Ia pun telah menolak langkah parlemen untuk mengambil kendali atas GNU.

Baca Juga

"Saya tidak akan membiarkan masa transisi baru. Kami tidak akan mundur dari peran kami dalam pemerintahan yang kami janjikan kepada rakyat sampai pemilu tercapai," kata Dbeibah dalam pidatonya, Selasa (8/2/2022).

Pertaruhannya adalah proses perdamaian yang didukung PBB termasuk gencatan senjata yang telah dilakukan sejak musim panas 2020. Angkatan bersenjata yang menjadi rivalnya telah memobilisasi di Tripoli selama beberapa pekan terakhir. Parlemen, yang terpilih pada 2014 dan sebagian besar berpihak pada kekuatan timur selama perang saudara, telah menyebut GNU tidak sah. Parlemen pun mengadopsi peta jalan baru termasuk pemerintah sementara baru sebelum pemilihan tahun depan.

Penasihat Libya dari PBB dan kekuatan Barat mengatakan mereka masih mengakui GNU dan telah mendesak faksi-faksi Libya yang bersaing dan lembaga-lembaga politik untuk memprioritaskan pemilihan awal daripada periode transisi baru. Libya memiliki perdamaian atau stabilitas yang kurang mantap sejak pemberontakan yang didukung NATO pada 2011 melawan Muammar Gaddafi. Libya terpecah setelah 2014 antara kubu-kubu yang bertikai di timur dan barat, masing-masing dengan pemerintahnya sendiri.

Dbeibah diangkat sebagai perdana menteri melalui proses perdamaian yang didukung PBB. Kala itu, skenario yang diusung yakni pemerintah Dbeibah akan mengawasi pemilihan presiden dan parlemen pada Desember demi menciptakan pemerintahan yang lebih langgeng. Namun, dia mengingkari janji yang dibuat ketika dia diangkat sebagai perdana menteri bahwa dia tidak akan mencalonkan diri dalam pemilihan Desember.

Pencalonannya itu menjadi salah satu kontroversi utama yang akhirnya membuat proses itu runtuh. Dbeibah pada Selasa mengatakan dia telah memulai konsultasi untuk memulai proses pemilihan baru pada bulan Juni.

sumber : Antara / Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement