Selasa 08 Mar 2022 23:17 WIB

KPI Desak Dibuat Kebijakan Pengembangan Energi Bersih Terbarukan

KPI mengkritisi RUU EBT yang kini dalam tahap harmonisasi di Baleg DPR

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perempuan Indonesia (KPI) menanggapi rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang telah diserahkan oleh DPR RI ke Badan Legislasi (Baleg) untuk masuk ke tahap harmonisasi. KPI menilai, aspirasi dan kebutuhan dari kelompok perempuan serta masyarakat di daeh 3T serta pendekatan gender dirasa belum tereflesikan dan terjawab dari draft RUU EBT yang ada.

Energi berperan penting dalam kehidupan perempuan yang lekat dengan aktivitas rumah tangga. Penggunaan jenis energi akan berpengaruh pada produktivitas dan hidup perempuan. Jenis energi yang sarat emisi dan polusi akan berdampak negatif bagi  kesehatan dan lingkungan perempuan, terutama di daerah 3T di Indonesia.

Baca Juga

Tidak hanya itu, selama ini perempuan hanya ditempatkan sebagai konsumen energi, padahal seharusnya ada kesempatan bagi masyarakat umum, termasuk perempuan di rumah untuk memproduksi energi dan menggunakannya sendiri. "Menyuarakan kebutuhan perempuan terhadap energi, KPI mendorong DPR RI dan pemerintah untuk memposisikan perempuan sebagai produsen energi," ujar Presidium Nasional KPI KK Petani, Dian Aryani dalam webinar berjudul RUU EBT: Melihat Lebih Jauh Perspektif Gender Diakomodasi dalam Kebijakan Energi. 

Selain itu, dari sisi kebijakan energi, KPI mendesak agar dibuat kebijakan pengembangan energi bersih terbarukan yang terjangkau di tingkat lokal. KPI menyayangkan perempuan yang sering kali tidak dilibatkan dan dilatih  dalam pengembangan energi EBT. 

Ia juga memandang terminologi EBT tidak tepat. Menurutnya dari pada mengembangan energi baru, lebih baik berfokus dalam memanfaatkan energi bersih yang tidak mengandung polutan serta energi terbarukan. Keberadaan pasal yang mengatur perlindungan inisiatif masyarakat dalam membangun, mengembangkan dan memanfaatkan energi bersih terbarukan menjadi penting terutama untuk skala rumah tangga dan skala komunitas yang bersifat non komersial.

"Selain itu, pemerintah perlu menerapkan pengarusutamaan gender dalam kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengembangan EBT," ujarnya.

Deputi Bidang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Maftuh Muhtadi, mengakui bahwa perempuan masih dipandang sebagai  konsumen utama energi listrik. "Selama ini pengelolaan energi selalu dilekatkan dengan tanggung jawab perempuan terkait peran domestiknya. Konsumsi energi cenderung belum efisien dan peran perempuan penting untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan energi," jelasnya.

Sementara, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Mohamad Yadi Sofyan Noor, memandang memasukkan nuklir dalam RUU EBT bukanlah tindakan yang tepat. Pihaknya menolak pembangunan PLTN karena berpotensi memberikan dampak negatif pada ekonomi petani dan nelayan.

"Pembangunan PLTN meningkatkan risiko bagi petani dan nelayan karena PLTN menyerap dana besar dengan kemungkinan alokasi dari program-program lain seperti ketahanan pangan; Lahan yang dibutuhkan cukup luas sehingga mengancam akses dan aktivitas ekonomi para petani dan nelayan. Resiko kecelakaan PLTN ditanggung langsung oleh para petani dan nelayan yang berada di sekitar PLTN," pungkasnya.

Senada, Rinaldy Dalimi, Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menyebutkan keberadaan nuklir dalam RUU EBT justru akan menyulitkan pembangunan dan pengusahaan energi terbarukan. "RUU EBT jika dikaji dengan lebih mendalam, tidak akan disahkan dalam waktu dekat sebab setidaknya pemerintah pusat harus  mempertimbangkan membangun 5 lembaga baru, dan harus menyediakan beragam insentif dan tempat pembuangan limbah radioaktif," ujarnya.

Rinaldy berpendapat ke depannya akan tiba masa saat semua orang mampu menghasilkan energinya sendiri, sehingga urusan energi bukan urusan pemerintah lagi, melainkan  akan menjadi urusan rumah tangga. Dengan demikian, maka peran perempuan akan menjadi krusial  dalam mengurus sektor energi.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement