Rabu 16 Mar 2022 14:17 WIB

Harga Baru Minyak tak Berguna Bila Barangnya tak Ada

Ikappi menemukan kenaikan permintaan minyak goreng jelang Ramadhan.

Pedagang menata minyak goreng curah yang dijual di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (16/3/2022). Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menerbitkan aturan kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah jadi Rp14.000 per liter yang sebelumnya Rp11.500 dan berlaku sejak Rabu (16/3/2022).
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Pedagang menata minyak goreng curah yang dijual di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (16/3/2022). Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menerbitkan aturan kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah jadi Rp14.000 per liter yang sebelumnya Rp11.500 dan berlaku sejak Rabu (16/3/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution, Muhammad Nursyamsi, Antara

Kelangkaan minyak goreng masih terus terjadi. Terbaru, pemerintah memutuskan hanya mengatur harga minyak goreng curah sebesar Rp 14 ribu per liter dengan bantuan subsidi usai diumumkan pada Selasa (15/3) kemarin. Sementara, harga minyak goreng kemasan sederhana dan premium dilepas sesuai harga pasar yang sedang tinggi.

Baca Juga

Apa pun keputusan terkait minyak goreng, Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) mendesak agar pasokan kembali tersedia secara cukup di pasar. Pasalnya, tren permintaan mulai mengalami kenaikan dua pekan sebelum masuknya bulan Ramadhan.

Ketua Umum Ikappi, Abdullah Mansuri, pun berharap dengan dilepasnya harga minyak goreng kemasan sederhana dan premium sesuai harga keekonomian, pasokan bisa sesegera mungkin tersebar luas dan tidak sulit didapatkan. Begitupun, dengan minyak goreng curah yang patokan harganya telah dinaikkan menjadi Rp 14 ribu per liter.

"Yang penting ada dulu barangnya walau harga agak tinggi, tapi tetap diminati. Kita harapkan sesegera mungkin pasokan tersedia (merata) sehingga tidak ada panic buying," kata Mansuri, Rabu (16/3).

Mansuri mengatakan, sangat mustahil untuk saat ini jika tidak sesegera mungkin melakukan pengendalian produksi. Dikhawatirkan kembali terjadi panic buying kedua di tengah masyarakat yang bisa menganggu keseimbangan pasar minyak goreng.

Saat ini, kata Mansuri, permintaan minyak goreng juga sudah mengalami kenaikan namun masih di bawah lima persen. Ia belum dapat memastikan penyebab kenaikan permintaan, namun bisa jadi akibat adanya isu beberapa komoditas pangan lain yang juga mengalami kenaikan harga. "Jadi, kami mendorong agar pasokan minyak goreng segera disebarkan dan didistribusikan ke pasar-pasar tradisional secepat mungkin," katanya.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Guntur Saragih, mengatakan, kebijakan penetapan harga oleh pemerintah dalam melindungi kelompok masyarakat tertentu merupakan hal wajar. "Pertimbangannya adalah kelompok masyarakat yang paling terdampak, apakah konsumen kemasan sederhana dan premium dianggap bukan kelompok masyarakat yang disasar? Itu pertimbangannya," kata Guntur.

Kendati demikian, Guntur menjelaskan, berbagai kebijakan intervensi harga oleh pemerintah harus mempertimbangkan segala risiko. Termasuk potensi penyimpangan-penyimpangan yang bisa terjadi di pasar bebas.

Kebijakan harga minyak goreng di hilir berkaitan erat dengan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) minyak sawit (CPO) di level hulu. Sebab, harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang sebelumnya diterapkan untuk konsumen bisa berjalan karena adanya DMO dan DPO meski pasokan belum merata.

Guntur pun menilai, efektivitas DMO dan DPO tersebut dapat dilihat dari ketersediaan minyak goreng dan harga saat ini. "Karena angka DMO 20 persen, seharusnya ketersediaan minyak goreng dengan harga yang ditentukan DPO seharusnya sudah mencukupi di pasar," ujarnya.

Sekretaris Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno, mengatakan, kebijakan itu menjadi "pil pahit" bagi konsumen karena pemerintah gagal dalam melaksanakan kebijakan minyak goreng yang terjangkau dari segi pasokan maupun harga. Meski begitu, diharapkan kebijakan tersebut menjadi jalan tengah atas kelangkaan minyak goreng yang masih dirasakan masyarakat sekaligus para pedagang.

YLKI meminta meskipun harga minyak goreng kemasan tak lagi diatur dengan harga eceran tertinggi (HET), harga jual harus adil dan tetap terjangkau. "Dengan harga yang dilepas ke pasar, kita harap dengan harga yang adil, bukan harga gilaan. Harga keekenomian yang adil bagi konsumen dan pelaku usaha, termasuk pedagang pasar tradisional," kata Agus.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement