REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyebut, Uni Eropa mulai meminta pasokan minyak sawit (CPO) dari Indonesia akibat adanya krisis energi dunia dan kenaikan harga minyak nabati global. Namun, para produsen sawit Indonesia menolak lantaran Uni Eropa telah menetapkan kebijakan diskriminatif terhadap sawit Indonesia.
"Baru-baru ini kejadian orang yang membenci sawit dulu di negara Eropa, sekarang sudah minta-minta. Mereka yang menajiskan sawit itu sekarang sudah ngemis untuk dapat sawit," kata Sahat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IV DPR, Rabu (30/3/2022).
Seperti diketahui, Uni Eropa telah menetapkan kebijakan yang mendiskriminasi sawit Indonesia melalui aturan Renewable Energy Directive (RED) II serta Delegated Regulation sejak 2018. Sahat mengatakan, para pelaku usaha di bidang persawitan pun secara tegas menolak dan lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saat ini.
"Dari dulu mereka mencaci maki kita saja, sebagai bangsa kita harus punya nyali," kata Sahat.
Lebih lanjut, Sahat menuturkan, ke depan, pemerintah harus memiliki regulasi yang bisa membuat harga sawit di dalam negeri lebih rendah dibandingkan negara produsen sawit lainnya. Dengan begitu, para investor pun akan datang dan menambah tingkat produksi sawit Indonesia.
Dengan harga yang lebih bersaing, tentunya investor pun akan mendapatkan keuntungan lebih jika mengekspor dan Indonesia mendapatkan manfaat dari pajak ekspor. "Jadi pajak kita dapat, serapan tenaga kerja dapat, bisnis pun kita dapat," ujar dia.
Produksi CPO tahun ini diproyeksi mencapai 49 juta ton. Namun, dari total produksi itu, pasar domestik hanya menyerap sekitar 36 persen atau sekitar 19 juta ton sedsangkan sisanya diserap oleh pasar ekspor. Adapun khusus untuk kebutuhan produksi minyak goreng diperkirakan hanya sekitar 4,9 juta ton.